PEMBAHASAN
A.
Pengertian Khulu'
Secara
etimologi kata Khulu’ berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari lafadz kha-la-’a
yang berarti menanggalkan. Khulu’ diartikan juga dengan membuka pakaian, karena
seorang wanita merupakan pakaian bagi lelaki dan sebaliknya. Allah SWT berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ
لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
”Mereka itu adalah pakaian bagimu
dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Dalam bahasa Indonesia juga dipakai istilah
thalaq tebus, yaitu perceraian atas permintaan pihak perempuan dengan membayar
sejumlah uang atau mengembalikan maskawin yang diterimanya.
Secara
terminologi, Khulu’ menurut istilah hukum, diartikan dengan :
“Putus perkawinan dengan menggun
akan uang tebusan; menggunakan ucapan thalak atau Khulu’.”
Menurut
istilah fikih, khulu’ berarti akad yang dilakukan olah suami istri untuk
membebaskan istri dari pernikahan dengan syarat istri membayarkan sejumlah
harta, lalu suami menalaqnya atau mengkhulu ’nya, atau diartikan dengan tebusan
yang diberikan oleh istri supaya suami menceraikannya.
Pengertian khulu’ menurut ulama madzhab:
1. Menurut Madzhab
Hanafi :
“Khulu’ ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang diterima oleh istri
dengan lafadz khulu’
atau yang semakna dengan itu.”
2.
Menurut Madzhab Syafi’i:
“Khulu’ menurut syara’ adalah lafadz yang menunjukkan perceraian antara
suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu.”
3.
Menurut Madzhab Maliki:
“Khulu’ men urut syara’ adalah thalaq dengan tebusan.”
4.
Menurut Madzhab Hanabillah:
“Khulu’ adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan yang diambil oleh
suami dari istrinya atau dari lainnya dengan lafadz tertentu.”
Dari
pendapat para ulama di atas, ada kesamaan dengan pengertian yang tersebut dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa
khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan
tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.
Kebolehan terjadinya khulu ini dipegangi oleh kebanyakan
ulama, berdasarkan
firman Allah:
فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِه
Artinya:“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya….” Q.S.
Al-Baqarah:229
Di antara
dalil adanya Khulu' adalah dalil-dalil berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت
النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق
ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya:
"Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi
saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari
Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya
sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan
baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap
mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan
mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada
Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai".
(HR. Bukhari).
B.
Syarat dan Rukun Khulu’
1.
Syarat Khulu’
Istri yang mengkhulu’
disyaratkan atas hal-hal berikut:
a.
Hendaknya dia itu adalah isterinya
yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan
pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar
manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang
tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
Persoalan
berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada
dua keadaan:
·
Apabila wanita tersebut sedang dalam
masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan
Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih
dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk
mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
·
Apabila wanita tersebut sedang dalam
masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila
tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah
dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan
pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat
mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat
dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan
Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk
mengajukan Khulu'. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati
kepada kebenaran.
b.
Isteri yang mengajukan Khulu'
hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan)
harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut
sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya. Apabila wanita tersebut belum
baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena
baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk
melakukan derma dan menggunakan hartanya.
2.
Rukun Khulu’
1.
Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu
suami)
Para ulama
sepakat bahwasannya orang yang diKhulu'' atau suami hendaknya orang yang
mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:
"man jaza thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa yang boleh mentalak,
boleh juga untuk mengKhulu' nya)".
2.
Al-mukhtali'ah (wanita yang
mengKhulu', yakni isteri)
Bagi isteri yang hendak mengKhulu''
disyaratkan hal-hal berikut:
a.
Hendaknya dia itu adalah isterinya
yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan
pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar
manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang
tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
b.
Isteri yang mengajukan Khulu'
hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan)
harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut
sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya. Apabila wanita tersebut belum
baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena
baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk
melakukan derma dan menggunakan hartanya.
Persoalan
berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan
Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
·
Apabila wanita tersebut sedang dalam
masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan
Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih
dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk
mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
·
Apabila wanita tersebut sedang dalam
masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila
tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah
dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan
pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat
mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat
dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Hanafiyyah dan
Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk
mengajukan Khulu'. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati
kepada kebenaran.
3.
'Iwadh (Uang ganti)
'Iwadh adalah sejumlah harta yang
diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan Khulu'. Syarat
dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas
kawin. Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan
sebagai Iwadh dalam Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal
Khulu').
Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu' sah meskipun tidak memakai
'iwadh misalnya si isteri mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si
suami mengatakan: "Saya telah mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan
adanya iwadh. Di antara alasannya adalah:
·
Khulu' adalah pemutus pernikahan,
karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai
iwadh.
·
Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi
lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya
itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk
diKhulu', lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun
tidak memakai iwadh.
Sedangkan menurut Madzhab
Syafi'i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu' tidak sah kecuali harus
memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:
·
Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu'
ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat al-Baqarah
ayat 229: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan bahwa memang
Khulu'' itu harus memakai iwadh.
·
Ketika isteri dari Tsabit bin Qais
hendak melakukan Khulu', Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan
kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu' baru sah manakala memakai iwadh
Dari kedua pendapat di atas, penulis
lebih condong untuk mengambil pendapat kedua bahwa Khulu' hanya sah apabila
memakai iwadh. Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash baik dari
ayat al-Qur'an maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu' tanpa memakai
iwadh.
4.
Shigat Khulu'
Shigat Khulu' maksudnya
adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat
ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya.
Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan
sebagai Ijab Qabul dalam Khulu'. Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan
kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu
misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.
C. Akibat Hukum Khulu’
Para ulama
Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan
situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah
Isteri
boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman
apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya,
atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut
ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan
Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja,
sebagaimana firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)
Artinya:
"Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS.
Al-Baqarah: 229).
Demikian
juga berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله
عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى
أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه
حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل
الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya:
"Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi
saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari
Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya
sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan
baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap
mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan
mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada
Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai".
(HR. Bukhari).
2. Haram.
Khulu'' bisa
haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
·
Apabila si isteri meminta Khulu'
kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah
tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh
isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut
ini:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا
مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).
Artinya: " Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها رائحة
الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]
Artinya: "Tsauban berkata,
Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada
suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi
surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
·
Apabila si suami sengaja menyakiti
dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan
Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami
tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya
saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).
Artinya: "Dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata" (QS. An-Nisa: 19).
Namun,
apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina
misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak
mengambil 'iwadh tersebut.
3.
Sunnah
Khulu' juga
bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan
hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib,
puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar,
seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama
lainnya menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan
tetapi wajib hukumnya.
D. Pengertian Li’an dan Hal-Hal
Yang Berhubungan Dengan-nya
1. Pengertian Li’an
Li’an berasal
dari kata ”la’ana”, yang artinya
laknat, sebab suami
istri pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat alloh
jika ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.
Menurut istilah syara’,li’an berarti sumpah seorang suami dimuka hakim
bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal
perbuatan zina.jadi,suami menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak
menegemukakan saksi ,kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Namun tuduhan itu ditangkis oleh istr dengan jalan bersumpah pula,bahwa apa
yang dituduhkan oleh suami atas dirinya adalah dusta belaka. Dasar wajibnya
li’an adalah al-qur’an dan hadits.
Firman alloh dalam QS.
Annur:6-9 adalah :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ
شُهَدَاء إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ
إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ -٦- وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ
إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ -٧- عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ
شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ -٨- وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ
اللَّهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ -٩-
Artinya: dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahaldia
tidak mempunyai saksi-saksi selain dari mereka sendiri,maka persaksian orang
itu adalah empat kali bersumpah dengan nama alloh sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang
yang benar.dan ( sumpah ) yang kelima laknat alloh atasnya jika dia termasuk
orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hokum alloh oleh
sumpahnya,empat kali atas nama alloh sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang yang berdusta. Dan (sumpah)
yang kelima, bahwa laknat alloh atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang
yang benar.
Sedangkan hadis yang
menjadi dasar adalah HR.imam malik dan imam-imam yang meriwayatkan hadis shahih
dari hadis ‘uwaimir al-ajlani “apabila suami tidak dapat mendatangkan empat
saksi orang laki-laki maka ia harus bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa
dirinya benar,dan pada kelima kalinya ia mengucapkan “bahwa ia akan dilaknat
oleh alloh jika tuduhan itu dusta”.
Kemudian jika istri akan menyanggah tuduhan tersebut,maka ia harus
bersumpah empat kali juga. Dan pada kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan
dilaknat alloh jika ternyata ucapan suaminya itu benar.
Praktik li’an yang
dilakukan suami dengan bersumpah atas nama allohsampai empat kali dengan
mengucapkan: “aku bersumpah dengan allohdemi alloh bahwasanyya saya adalah
benar atas tuduhan saya kepada istri saya yang bernama ……. bahwa dia
benar-benar berbuat zina”. Kemudian
kelima kalinya ia mengucapkan sumpah yang berbunyi “dilaknat alloh jika saya berdusta”.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa li’an itu pada dasarnya ada dua macam:
·
Suami menuduh istri berizina,dan ia tidak memiliki empat orang saksi
laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu.
·
Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil benih
persetubuhannya.
2.
Hukum Li’an
Jika seseorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti, maka ia telah
melakukan qadzaf (قذف) dan berhak
mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan. Allah Ta’ala berfirman
:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: “dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali cambukan” (QS. An Nuur : 4)
Had tersebut tidak berlaku jika dia membawa 4 orang saksi sebagai bukti.
Allah Ta’ala berfirman :
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا
عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ
Artinnya: “dan (terhadap) para
wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi
diantara kamu (yang menyaksikannya)” (QS. An Nisaa : 15)
3. Akibat Hukum Li’an
a.
Akibat Hukum Li’an Bagi suami dan Istri
Akibat li’an adalah
terjadinya perceraian antara suami istri. Jumhur ulama mengemukakan alasan bahwa pada dasarnya diantara keduanya telah
terjadi pemutusan hubungan, saling membenci, saling mengumbar hawa nafsu, dan
merusak batasan-batasan Allah, yang semuanya mengharuskan keduanya untuk tidak berkumpul
kembali selamanya. Demikian itu, karena pada dasarnya hubungan suami istri itu
dibina atas dasar kasih sayang, sementara mereka tidak memiliki lagi rasa kasih
sayang ini sama sekali. Maka hukuman yang layak bagi keduanya adalah bercerai
dan berpisah.
Mengenai apakah
perceraian diwajibkan, Malik, al-laits, dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa
perpisahan terjadi apabila keduanya telah selesai berli’an. Syafi’i berpendapat
bahwa jika suami telah menyelesaika li’annya, maka perpisahanpun terjadi.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, perpisahan tidak terjadi kecuali berdasarkan
keputusan hakim. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Tsauri dan Ahmad.
Alasan
Malik dan Syafi’i ialah hadis Ibnu Umar
r.a: Ibnu umar berkata , “Rasulullah Saw. memisahkan di antara dua orang yang
berli’an, kemudian beliau bersabda:
حسا بكما على الله أحدكما كاذب لا سبيل لك عليها. (أخرجه مسلم و ابوداود)
“Perhitunga kalian terserah kepada Allah; salah seorang di antara kamu
berdua telah berdusta, maka tidak ada jalan lain kepadanya.”
Syafi’i mengemukakan alasan bahwa li’an istri tidak lain untuk
menghindarkan hukuman hadd atas dirinya semata, sedang li’an suami itulah yang
berpengaruh bagi pengingkaran nasab. Maka seharusnya, jika li’an itu mempunyai
pengaruh bagi perpisahan, maka yang berpengaruh itu li’an suami, karena li’an
suami disamakan dengan talak.
Alasan
Malik dan Syafi’i terhadap Abu Hanifah berpendapat ialah bahwa Nabi Saw.
memberitahukan kepada suami istri itu atas terjadinya perpisahan begitu
keduanya mengucakan li’an. Ini menunjukkan bahwa li’an itulah penyebab
terjadinya perpisahan.
Sedang Abu hanifah berpendapat bahwa
perpisahan hanya dapat terlaksana berdasarkan keputusan dan perintah Rasulullah
Saw. yang menyatakan hal itu, ketika beliau bersabda, “Tidak ada jalan
bagimu kepadanya.”
Oleh
karena itu Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan Nabi Saw. merupakan syarat
bagi jatuhnya perpisahan, seperti keputusan beliau juga menjadi syarat syahnya
li’an.
b. Akibat Li’an dari Segi Hukum
Sebagai akibat
dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu li’an menimbulkan pula
perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu
pihak (suami istri). Perubahan itu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Gugur had atas istri sebagai had zina
2. Wajib had atas istri sebagai had
zina
3. Suami istri bercerai untuk selamanya
4. Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya
Sebaliknya si istri dapat menggugurkan hukum had atas dirinya dengan
membela li’an suaminya dengan li’annya pula atas suaminya.
Li’an juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam beberapa pasal,
yaitu:
1.
Pasal 125, Li’an
menyebabkan putusnya perkawinan antara suami dan isteri untuk selama-lamanya.
2.
Pasal 126, Li’an karena
terjadi suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam
kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak
tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
3.
Pasal 127, Tata cara li’an diatur
sebagai berikut:
a)
Suami bersumpah empat
kali dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran anak tersebut, diikuti kelima
dengan kata-kata: “laknat Allah atas dirinya, apabila tuduhan dan
pengingkaran itu dusta.”
b)
Isteri menolak tuduhan
dan atau pengingkaran anak tersebut dengan sumpah empat kali dengan tuduhan
atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata:
“Murka Allah atas dirinya, bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
benar.”
c)
Tata cara pada hurup
(a) dan (b) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan
d)
Apabila tatacara hurup
(a) tidak diikuti dengan tata cara hurup (b), maka dianggap tidak terjadi li’an
4.
Pasal 128, Li’an hanya
sah apa bila dilakukan dihadapan siding Pengadilan Agama
5.
Pasal 129, bilamana
Li’an itu terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang
dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari member
nafakah.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologi kata Khulu’ berasal
dari bahasa Arab, yang terdiri dari lafadz kha-la-’a yang berarti
menanggalkan. Khulu’ diartikan juga dengan membuka pakaian, karena seorang
wanita merupakan pakaian bagi lelaki dan sebaliknya. Secara terminologi, Khulu’
menurut istilah hukum, diartikan dengan “Putus
perkawinan dengan menggun akan uang tebusan; menggunakan ucapan thalak atau
Khulu’.”
Diantara syarat khulu adalah sebagai
berikut:
1.
Hendaknya dia itu adalah isterinya
yang sah secara syar'i.
2.
Isteri yang mengajukan Khulu'
hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan)
harta juga dipandang sah untuk berderma.
Rukun Khulu’ sebagai berikut:
1.
Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu
suami)
2.
Al-mukhtali'ah (wanita yang
mengKhulu', yakni isteri)
3.
'Iwadh (Uang ganti)
4.
Adanya shigat khulu'
Khulu’ dari segi hukum dapat
menjadi Mubah, Haram dan Sunah.
Li’an berasal dari kata ”la’ana”, yang artinya
laknat, sebab suami
istri pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat alloh
jika ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.
Menurut istilah syara’,li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim
bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal
perbuatan zina. Jadi, suami
menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak menegemukakan saksi, kemudian
keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut.
Ditinjau dari segi hukum, lian
diperbolehkan untuk dilakukan berdasarkan dalil Al-Quran dan As-sunah.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Al Mahdani. 2002. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani
Ali, Zaenudin. 2002. Hukum Perdata Islam Indonesia. Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru
Ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani
ibadsytrainer.blogspot.com/.../defenisi-lian-dan-akibat-hukumnya_10.ht...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar