halaman

Senin, 16 November 2015

MAKALAH KHULU' DAN LI'AN


PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khulu'
Secara etimologi kata Khulu’ berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari lafadz kha-la-’a yang berarti menanggalkan. Khulu’ diartikan juga dengan membuka pakaian, karena seorang wanita merupakan pakaian bagi lelaki dan sebaliknya. Allah SWT berfirman:
 هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187).  Dalam bahasa Indonesia juga dipakai istilah thalaq tebus, yaitu perceraian atas permintaan pihak perempuan dengan membayar sejumlah uang atau mengembalikan maskawin yang diterimanya.
Secara terminologi, Khulu’ menurut istilah hukum, diartikan dengan :
“Putus perkawinan dengan menggun akan uang tebusan; menggunakan ucapan thalak atau Khulu’.”
Menurut istilah fikih, khulu’ berarti akad yang dilakukan olah suami istri untuk membebaskan istri dari pernikahan dengan syarat istri membayarkan sejumlah harta, lalu suami menalaqnya atau mengkhulu ’nya, atau diartikan dengan tebusan yang diberikan oleh istri supaya suami menceraikannya.
Pengertian khulu’ menurut ulama madzhab:
1.      Menurut Madzhab Hanafi :
“Khulu’ ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang diterima oleh istri dengan lafadz khulu’ atau yang semakna dengan itu.”
2.      Menurut Madzhab Syafi’i:
“Khulu’ menurut syara’ adalah lafadz yang menunjukkan perceraian antara suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu.”
3.      Menurut Madzhab Maliki:
“Khulu’ men urut syara’ adalah thalaq dengan tebusan.”
4.      Menurut Madzhab Hanabillah:
“Khulu’ adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan yang diambil oleh suami dari istrinya atau dari lainnya dengan lafadz tertentu.”
Dari pendapat para ulama di atas, ada kesamaan dengan pengertian yang tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.
Kebolehan terjadinya khulu ini dipegangi oleh kebanyakan ulama, berdasarkan firman Allah:
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِه
Artinya:“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya….” Q.S. Al-Baqarah:229
Di antara dalil adanya Khulu' adalah dalil-dalil berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
B.     Syarat dan Rukun Khulu’
1.      Syarat Khulu’
Istri yang mengkhulu’ disyaratkan atas hal-hal berikut:
a.       Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
           Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh  mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
·         Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
·         Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
      Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
b.      Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya. Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya. 
2.      Rukun Khulu’
1.      Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami)
         Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu'' atau suami hendaknya orang yang mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: "man jaza thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu' nya)".
2.      Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri)
      Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan hal-hal berikut:
a.       Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
b.      Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya. Apabila wanita tersebut belum baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan menggunakan hartanya.
         Persoalan berikutnya adalah apakah wanita yang sedang dalam masa Iddah boleh mengajukan Khulu'? Untuk hal ini ada dua keadaan:
·         Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah karena Thalak Raj'i, maka wanita tersebut diperbolehkan mengajukan Khulu', lantaran wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Raj'i masih dipandang sebagai isterinya yang sah dan karenanya, ia diperbolehkan untuk mengajukan Khulu' dengan jalan membayar sejumlah 'iwadh.
·         Apabila wanita tersebut sedang dalam masa Iddah Thalak Ba'in, maka tidak diperbolehkan mengajukan Khulu'. Apabila tetap mengajukan, maka Khulu' nya menjadi tidak sah. Hal ini lantaran dia sudah dipandang sebagai orang lain dan sudah dipandang tidak ada lagi ikatan pernikahan. Karena tidak ada lagi ikatan pernikahan, maka tidak dapat mengajukan Khulu'' dan Khulu'' hanya terjadi bagi mereka yang masih terikat dalam ikatan suami isteri. Demikian menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Hanabilah.
         Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, wanita yang sedang dalam masa Iddah Talak Ba'in diperbolehkan untuk mengajukan Khulu'. Namun, pendapat pertama tentu lebih kuat dan lebih mendekati kepada kebenaran.
3.      'Iwadh (Uang ganti)
       'Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan Khulu'. Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin. Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu').
            Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu' sah meskipun tidak memakai 'iwadh misalnya si isteri mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si suami mengatakan: "Saya telah mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara alasannya adalah:
·         Khulu' adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana talak yang tidak memakai iwadh.
·         Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi lantaran si isteri sudah sangat membenci suaminya lantaran perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika si isteri meminta untuk diKhulu', lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja meskipun tidak memakai iwadh.
        Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu' tidak sah kecuali harus memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:
·         Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu' ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229: "Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan bahwa memang Khulu'' itu harus memakai iwadh.
·         Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu', Rasulullah saw memintanya untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu' baru sah manakala memakai iwadh
        Dari kedua pendapat di atas, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat kedua bahwa Khulu' hanya sah apabila memakai iwadh. Hal ini lantaran sepengetahuan penulis tidak ada nash baik dari ayat al-Qur'an maupun dari hadits yang membolehkan praktek Khulu' tanpa memakai iwadh.
4.      Shigat Khulu'
         Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam Khulu'. Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.


C.    Akibat Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah
Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229)
Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما أعيب عليه فى خلق ولا دين, ولكنى أكره الكفر فى الإسلام, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أتردين عليه حديقه)), فقالت: نعم, فرددت عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى]
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
2. Haram.
Khulu'' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
·         Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ (البقرة: 229).
Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أيما امرأة سألت زوجها طلاقا فى غير ما بأس, فحرام عليها رائحة الجنة)) [رواه أبو داود وابن ماجه وأحمد]
Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
·         Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (النساء: 19).
Artinya: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut.
3. Sunnah 
Khulu' juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar, seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib hukumnya.
D.    Pengertian Li’an dan Hal-Hal Yang Berhubungan Dengan-nya
1.      Pengertian Li’an
             Li’an berasal dari kata ”la’ana”, yang artinya laknat, sebab suami istri pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat  “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat alloh jika ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.
             Menurut istilah syara’,li’an berarti sumpah seorang suami dimuka hakim bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina.jadi,suami menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak menegemukakan saksi ,kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut.          Namun tuduhan itu ditangkis oleh istr dengan jalan bersumpah pula,bahwa apa yang dituduhkan oleh suami atas dirinya adalah dusta belaka. Dasar wajibnya li’an adalah al-qur’an dan hadits.
             Firman alloh dalam QS. Annur:6-9 adalah :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَاء إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ -٦- وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ -٧- عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ -٨- وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ -٩-
Artinya: dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahaldia tidak mempunyai saksi-saksi selain dari mereka sendiri,maka persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan nama alloh  sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.dan ( sumpah ) yang kelima laknat alloh atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hokum alloh oleh sumpahnya,empat kali atas nama alloh sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat alloh atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
             Sedangkan hadis yang menjadi dasar adalah HR.imam malik dan imam-imam yang meriwayatkan hadis shahih dari hadis ‘uwaimir al-ajlani “apabila suami tidak dapat mendatangkan empat saksi orang laki-laki maka ia harus bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa dirinya benar,dan pada kelima kalinya ia mengucapkan “bahwa ia akan dilaknat oleh alloh jika tuduhan itu dusta”.
             Kemudian jika istri akan menyanggah tuduhan tersebut,maka ia harus bersumpah empat kali juga. Dan pada kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat alloh jika ternyata ucapan suaminya itu benar.
              Praktik li’an yang dilakukan suami dengan bersumpah atas nama allohsampai empat kali dengan mengucapkan: “aku bersumpah dengan allohdemi alloh bahwasanyya saya adalah benar atas tuduhan saya kepada istri saya yang bernama ……. bahwa dia benar-benar berbuat zina”. Kemudian kelima kalinya ia mengucapkan sumpah yang berbunyi  “dilaknat alloh jika saya berdusta”.
              Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa li’an itu pada dasarnya ada dua macam:
·         Suami menuduh istri berizina,dan ia tidak memiliki empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu.
·         Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil benih persetubuhannya.
2.      Hukum Li’an
             Jika seseorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti, maka ia telah melakukan qadzaf (قذف) dan berhak mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan. Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan” (QS. An Nuur : 4)
        Had tersebut tidak berlaku jika dia membawa 4 orang saksi sebagai bukti. Allah Ta’ala berfirman :
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ
Artinnya: dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)” (QS. An Nisaa : 15)
3.      Akibat Hukum Li’an
a.       Akibat Hukum Li’an Bagi suami dan Istri
      Akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami istri. Jumhur ulama mengemukakan alasan bahwa pada dasarnya diantara keduanya telah terjadi pemutusan hubungan, saling membenci, saling mengumbar hawa nafsu, dan merusak batasan-batasan Allah, yang semuanya mengharuskan keduanya untuk tidak berkumpul kembali selamanya. Demikian itu, karena pada dasarnya hubungan suami istri itu dibina atas dasar kasih sayang, sementara mereka tidak memiliki lagi rasa kasih sayang ini sama sekali. Maka hukuman yang layak bagi keduanya adalah bercerai dan berpisah.
  Mengenai apakah perceraian diwajibkan, Malik, al-laits, dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa perpisahan terjadi apabila keduanya telah selesai berli’an. Syafi’i berpendapat bahwa jika suami telah menyelesaika li’annya, maka perpisahanpun terjadi. Sedangkan menurut Abu Hanifah, perpisahan tidak terjadi kecuali berdasarkan keputusan hakim. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Tsauri dan Ahmad.
       Alasan Malik dan Syafi’i  ialah hadis Ibnu Umar r.a: Ibnu umar berkata , “Rasulullah Saw. memisahkan di antara dua orang yang berli’an, kemudian beliau bersabda:

حسا بكما على الله أحدكما كاذب لا سبيل لك عليها. (أخرجه مسلم و ابوداود)
“Perhitunga kalian terserah kepada Allah; salah seorang di antara kamu berdua telah berdusta, maka tidak ada jalan lain kepadanya.”
      Syafi’i mengemukakan alasan bahwa li’an istri tidak lain untuk menghindarkan hukuman hadd atas dirinya semata, sedang li’an suami itulah yang berpengaruh bagi pengingkaran nasab. Maka seharusnya, jika li’an itu mempunyai pengaruh bagi perpisahan, maka yang berpengaruh itu li’an suami, karena li’an suami disamakan dengan talak.
       Alasan Malik dan Syafi’i terhadap Abu Hanifah berpendapat ialah bahwa Nabi Saw. memberitahukan kepada suami istri itu atas terjadinya perpisahan begitu keduanya mengucakan li’an. Ini menunjukkan bahwa li’an itulah penyebab terjadinya perpisahan.
            Sedang Abu hanifah berpendapat bahwa perpisahan hanya dapat terlaksana berdasarkan keputusan dan perintah Rasulullah Saw. yang menyatakan hal itu, ketika beliau bersabda, “Tidak ada jalan bagimu kepadanya.”
      Oleh karena itu Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan Nabi Saw. merupakan syarat bagi jatuhnya perpisahan, seperti keputusan beliau juga menjadi syarat syahnya li’an.
b.      Akibat Li’an dari Segi Hukum
             Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan itu antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Gugur had atas istri sebagai had zina
2.      Wajib  had atas istri sebagai had zina
3.      Suami istri bercerai untuk selamanya
4.      Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya
       Sebaliknya si istri dapat menggugurkan hukum had atas dirinya dengan membela li’an suaminya dengan li’annya pula atas suaminya.
       Li’an juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam beberapa pasal,
yaitu:
1.      Pasal 125, Li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami dan isteri untuk selama-lamanya.
2.      Pasal 126, Li’an karena terjadi suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
3.      Pasal 127, Tata cara li’an diatur sebagai berikut:
a)      Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran anak tersebut, diikuti kelima dengan kata-kata: “laknat Allah atas dirinya, apabila tuduhan dan pengingkaran itu dusta.
b)      Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran anak tersebut dengan sumpah empat kali dengan tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata: “Murka Allah atas dirinya, bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar.”
c)      Tata cara pada hurup (a) dan (b) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan
d)     Apabila tatacara hurup (a) tidak diikuti dengan tata cara hurup (b), maka dianggap tidak terjadi li’an
4.      Pasal 128, Li’an hanya sah apa bila dilakukan dihadapan siding Pengadilan Agama
5.      Pasal 129, bilamana Li’an itu terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari member nafakah.






BAB 3
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Secara etimologi kata Khulu’ berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari lafadz kha-la-’a yang berarti menanggalkan. Khulu’ diartikan juga dengan membuka pakaian, karena seorang wanita merupakan pakaian bagi lelaki dan sebaliknya. Secara terminologi, Khulu’ menurut istilah hukum, diartikan dengan “Putus perkawinan dengan menggun akan uang tebusan; menggunakan ucapan thalak atau Khulu’.”
               Diantara syarat khulu adalah sebagai berikut:
1.      Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i.
2.      Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma.
       Rukun Khulu’ sebagai berikut:
1.      Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami)
2.      Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri)
3.      'Iwadh (Uang ganti)
4.       Adanya shigat khulu'
      Khulu’ dari segi hukum dapat menjadi Mubah, Haram dan Sunah.
            Li’an berasal dari kata ”la’ana”, yang artinya laknat, sebab suami istri pada ucapan kelima saling bermula’anah dengan kalimat  “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat alloh jika ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.
             Menurut istilah syara’,li’an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak menegemukakan saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut.
             Ditinjau dari segi hukum, lian diperbolehkan untuk dilakukan berdasarkan dalil Al-Quran dan As-sunah.       

       
    

DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al Mahdani. 2002. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani
Ali, Zaenudin. 2002. Hukum Perdata Islam Indonesia. Palu: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru
Ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani
makalahmajannaii.blogspot.com › Fiqihhukum Islam
ibadsytrainer.blogspot.com/.../defenisi-lian-dan-akibat-hukumnya_10.ht...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar