KONSEP HAK MILIK (AL-MILKIYAH )
Menurut pengertian umum, hak adalah :
“ Sesuatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk
menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum “.
Hak juga bisa berarti milik, ketetapan, dan kepastian,
sebagaimana disebutkan dalam Alquran (QS. Yasin : 7)
Artinya : “
Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman
“
Pengertian
tentang hak, sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ushul, yaitu :
“
Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai
harta “.
Ada
juga yang mendefinisikan hak sebagai berikut.
“
Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseoarng kepada yang
lainnya “.
“
kekhususan memungkinkan pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak
secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i
”.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah
menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik
akan dijual maupun akan digadaikan, baik diri sendiri maupun dengan perantara
orang lain. Berdasarkan definisi ini, kiranya dapat dibedakan antara hak dan
milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut.
Seseorang pengampu berhak menggunakan harta yang berada di
bawah ampuannya, pengampuannya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya
adalah orang yang berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang
memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat
memiliki.
Hak yang dijelaskan di atas adakalanya merupakan sulthah,
dan adakalanya pula merupakan taklif.
a. Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala
al nafsi dan sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin.
ØSulthah
‘ala al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hal hadlanah
(pemeliharaan anak)
ØSulthah
‘ala sya’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti
seseoarang berhak memiliki mobil.
b.
Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggungan
pribadi (‘ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh menjalankan tugasnya,
adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar utang.
Para fukaha berpendapat, bahwa hak merupakan imbangan dan
benda (a’yan). Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa hak adalah bukan
harta (ina al-haqqlaisah hi al-mal).
B. Asal - Usul Hak
Manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendirian, ia harus
hidup bermasyarakat saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Dalam melakukan
aktivitas jual beli, seseorang tidak bisa bermuamalah secara sendirian, bila ia
menjadi penjual, maka sudah jelas ia memerlukan pembeli, dan seterusnya. Setiap
manusia mempunyai kebutuhan, sehingga sering terjadi pertentangan kehendak.
Untuk menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar dan memperkosa hak – hak
orang lain, maka timbullah hak dan kewajiban di antara sesama manusia. Hak
milik telah diberi gambaran nyata oleh hakikat dan sifat syariat Islam, sebagai
berikut.
ØTabiat dan sifat syariat Islam ialah merdeka (bebas). Dengan
tabiat dan sifat ini, umat Islam dapat membentuk suatu kepribadian yang bebas
dari pengaruh Negara – negara Barat dan Timur serta mempertahankan diri dari
pengaruh – pengaruh Komunis (sosialis) dan kapitalis (individual).
ØSyariat Islam dalam menghadapi berbagai ke-musykil-an
senantiasa bersandar kepada maslahat (kepentingan umum) sebagai salah satu
sumber dari sumber – sumber pembentukan hukum islam.
ØCorak ekonomi Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah
merupakan suatu corak yang mengakui adanya hak pribadi dan hak umum. Bentuk ini
dapat memelihara kehormatan diri yang menunjukan jati diri. Individual adalah
corak kapitalis, seperti Amerika Serikat, sedangkan sosialis adalah ciri khas
komunis seperti Rusia pada tahun 1980-an. Sementara itu, ekonomi yang dianut
Islam ialah sesuatu yang menjadi kepentingan umum yang dijadikan milik bersama,
seperti rumput, api dan air, sedangkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan
umum dijadikan milik pribadi.
C. Sebab-sebab Pemilikan
Untuk memiliki harta, ternyata tidak semudah yang dipikirkan
oleh manusia. Harta dapat dimilki oleh seseorang asal tidak bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku ,baik hukum islam maupun hukum adat. Harta
berdasarkan sifatnya dapat dimilki oleh manusia, sehingga manusia dapat
memiliki suatu benda. Faktor – faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki
antara lain :
1.
Ikraj al mubahat
Untuk harta yang mubah (belum dimilki oleh seseorang).
Sesuai hadist yang disebutkan bahwa harta yang tidak termasuk dalam harta yang
dihormati(milik yang sah) dan tidak ada penghalang syara' untuk dimilki .
Untuk
memilki benda-benda mubhat diperlukan dua syarat ,yaitu :
a.
Benda mubhat belum diikhrazkan oleh orang lain. Seorang
mengumpulkan air dalam satu wadah kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang
lain tidak berhak mengambil air tersebut karena telah diikhrazkan orang lain .
b.
Adanya maksud mimiliki. Seorang memiliki harta mubhat tanpa
adanya niat, itu tidak termasuk ikhraz. Seumpama seorang pemburu meletakkan jaringnya
di sawah kemudian terjeratlah burung – burung. Apabila pemburu meletakkan
jaring itu hanya sekedar untuk mengeringkan jaringannya, maka ia tidak berhak
memiliki burung-burung tersebut .
2.
Khalafiyah
Bertempatnya seorang atau sesuatu yang baru bertempat
ditempat yang lama, maka telah hilang berbagai macam haknya .
Kalifah
ada dua macam :
a.
Khalifah syakhsy'an syaksysi
waris menempati
tempat si muwaris dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Jadi,
harta yang ditinggalkan muwaris disebut tirkah .
b.
Khalifah syai'an
Apabila seorang merugikan milik
orang lain kemudian rusak ditangannya, maka wajiblah dibayar harganya dan
diganti kerugian-kerugian pemilik harta tersebut. Maka, khalfiyah syai'in ini
disebut tadlimin atau ta'wil (menjamin kerugian).
3.
Tamwull min ta mamluk
Segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki menjadi
hak bagi yang memiliki benda tersebut .Misalnya, bulu domba menjadi hak milik
bagi pemilik domba .
Dari
segi iktiar , sebab malaiyah (memiliki) dibagi menjadi dua macam , yaitu :
a.
ikhtiyariyah
Sesuatu yang mempunyai hak ikhtiar
manusia dalam mewujudkannya. Sebab ini dibagi menjadi dua macam ,yaitu ikhraj
al mubahat dan 'uqud .
b.
Jabariyah
Sesuatu yang senantiasa tidak
mempunyai ikhtiar manusia dalam mewujudkannya. Sebab jabariyah dibagi dua yaitu
irts dan tawallud min al mamluk .
4.
Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga
tahun, Umar r.a ketika menjabat menjadi khalifah berkata : sebidang tanah akan
menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak
memanfaatkannya selama tiga tahun. Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang belum
ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang yang
memanfaatkannya itu berhak memiliki tanah itu.
D.
Pembagian Hak
Berbicara masalah pembagian hak, maka jumlah dan macamnya
banyak sekali, antara lain dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu hak mal dan hak ghair mal. Adapun pengertian hak mal :
“ Sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan
benda-benda atau utang-utang “.
Hak ghair mal terbagi dua bagian, yaitu hak syakhshi dan hak
‘aini.
a.
Hak syakhshi
Hak syakhshi adalah “ Sesuatu
tuntunan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain “.
b.
Hak ‘aini
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa
dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua macam: ashli dan thab’i. Hak ‘aini
ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shabul al-haq, seperti hak
milikiyah dan hak irtifaq. Hak ‘aini thab’i ialah jaminan yang ditetapkan untuk
seseorang yang menguntungkan uangnya atas yang berhutang. Apabila yang
berhutang tidak sanggup membayar, maka murtahin berhak menahan barang itu.
Macam-macam
hak ‘aini ialah sebagai berikut.
ØHaq
al-milikiyah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah. Boleh dia
memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskannya, merusakkannya, dan
membinasakannya, dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
ØHaq al-intifa ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan
diusahakn hasilnya. Haq al-Isti’mal (menggunakan) terpisah dari haq al istiqlal
(mencari hasil), misalnya rumah yang diwakafkan untuk didiami. Si mauquf ‘alaih
hanya boleh mendiami, ia tidak boleh mencari keuntungan dari rumah itu.
ØHaq al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan
untuk suatu kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun
pertama. Misalnya saudara Ibrahim memiliki sawah di sebelahnya sawah saudara
Ahmad. Air dari selokan dialirkan ke sawah saudara Ibrahim. Sawah Tuan Ahmad
pun membutuhkan air. Air dari sawah saudara Ibrahim dialirkan ke sawah dan air
tersebut bukan milik saudara Ibrahim.
ØHaq al-istihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang
digadaikan. Rahn menimbulkan hak ‘aini bagi murtahin, hak itu berkaitan dengan
harga barang yang digadaikan, tidak berkaitan dengan zakat benda, karena rahn
hanyalah jaminan belaka.
ØHaq al-ihtibas ialah hak menahan sesuatu benda. Hak menahan
barang (benda) seperti hak multaqith (yang menemukan barang) menahan benda
luqathah.
ØHaq qarar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak
menetapkan atas tanah wakaf ialah :
· Haq al-hakr ialah menetap di atas
tanah wakaf yang disewa, untuk yang lama dengan seizin hakim;
· Haq al-ijaratain ialah hak yang
diperoleh karena akad ijarah dalam waktu yang lama, dengan seizin hakim, atau
tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam keadaan semula misalnya
karena kebakaran dengan harga yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya
dibayar setiap tahun.
·
Haq al-qadar ialah hak menambah
bangunan yang dilakukan oleh penyewa;
·
Haq al-marshad ialah hak mengawasi
atau mengontrol
ØHaq al- murur ialah “ hak jalan manusia pada miliknya dari
jalan umum atau jalan khusus pada milik orang lain”.
ØHaq ta’alli ialah
“Hak manusia untuk menempatkan
bangunannya di atas bangunan orang lain“.
ØHaq al-jiwar ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh
berdempetnya batas-batas tempat, tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik
uqur dari menimbulkan kesulitan terhadap tetangganya.
ØHaq Syuf’ah atau haq syurb ialah “ Kebutuhan manusia
terhadap air untuk diminum sendiri dan untuk diminum bintangnya serta untuk
kebutuhan rumah tangganya “.
Ditinjau dari hak syurb, maka jenis air dibagi menjadi tiga
macam, yaitu sebagai berikut.
a.
Air umum yang tidak dimiliki oleh
seseorang, misalnya air sungai, rawa-rawa, telaga, dan lainnya. Air milik
bersama (umum) boleh digunakan oleh siapa saja dengan syarat tidak
memadharatkan orang lain.
b.
Air di tempat yang ada pemiliknya,
seperti sumur yang dibuat oleh seorang untuk mengairi tanaman di kebunnya,
selain pemilik tanah tersebut tidak berhak untuk menguasai tempat air yang
dibuat oleh pemiliknya. Orang lain boleh mengambil manfaat dari sumur tersebut
atas srizin pemilik kebun.
c.
Air yang terpelihara, yaitu air yang
dikuasai oleh pemiliknya, dipelihara dan disimpan di suatu yang telah
disediakan, misalnya air di kolam, kendi, dan bejana-bejana tertentu.
E. Klasifikasi Pemilikan
Dalam
Fiqh Muamalah, milik dibagi dari beberapa segi atau aspek yang diantaranya :
1. Hak Milik Berdasarkan Penuh atau
Tidak (ma yatsatam aw naquson) milik terbagi dua :
a. Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang
meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya baik benda dan kegunaannya
dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh salah satunya melalui jual beli.seperti
pemilik dari rumahnya sendiri.
b. Milk naqishah, yaitu bila seseorang
hanya memiliki salah satu dari benda tersebut, yaitu memiliki benda tanpa
memiliki manfaatnya yang disebut raqabah atau memiliki manfaatnya saja tanpa
memiliki bandanya yang disebut milik manfaat atau hak guna pakai dengan cara
i’arah, wakaf, dan washiyah.
misalnya ahli waris yang pewarisnya
belum wafat.
2. Hak Milik Berdasarkan Bentuk
a. Kepemilikan yang didasari dari bentuk barangnya.
1. Kepemilikan barang (Milkiyatun
al-’ain)
a.
Barang yang dapat dipindah (al-mangkulah), barang yang dapat
berpindah-pindah contohnya adalah tas.
b.
Perhiasan (al-ma’ta), perhiasan yang memiliki nilai jual
bagi pemiliknya, seperti emas, berlian yang suatu hari dapat dijual kembali.
c.
Hewan (al-haiwan), barang yang berbentuk hewan, seperti
sapi, kambing.
d.
Tetap (al-’uqar) barang tetap tidak dapat berpindah-pindah
seperti tanah, gedung.
b.Kepemilikan
manfaat (Milkiyatun manfaat) kepemilikan berdasarkan manfaatnya, seperti buku,
karena buku dimiliki bukan berdasarkan kertasnya, cover melainkan karena
manfaatnya.
c. Kepemilikan
hutang (Milkiyatun al-adiyan), kepemilikan yang berkaitan dengan hutang dan
kredit-kredit lainnya..
3.
Hak milik berdasarkan keterpautan (shurah)
a.
Milkiyatun mutamaziyah, yaitu sesuatu yang berpaut dengan
yang lain yang adanya batasan-batasan,yang dapat memisahkan dari yang lain
Contoh : kejelasan perbedaan antara
mobil dan rumah, jika di halaman rumah terparkir mobil belum tentu itu adalah
mobil dari pemilik rumah, bisa saja itu mobil milik tamu, karena ada kejelasan
perbedaan antara mobil dan rumah.
b.
Milkiyatun sya-i’ah atau milik al-musya, yaitu milik yang
berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpilan sesuatu, betapa besarnya atau
betapa kecilnya kumpulan itu atau bisa dikatakan adanya pembagian dari
keseluruhan, adanya pembagian, contohnya dalam hal investasi seriap
investor memiliki bagiannya tersendiri di perusahaan, maka kepemilikan
perusahaan tersebut dibagi-bagi.
F. Beberapa Prinsip
Pemilikan
Pemilikan dalam berbagai jenis dan corak sebagaimana yang
telah disampaikan di muka memiliki beberapa prinsip yang bersifat
khusus.Prinsip tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum pada sebagian
jenis pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan lainnya. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagaimana disampaikan
di bawah ini.
Prinsip pertama .
ان الملك العين يستلزم مبد ئيا ملك
المنفعة ولاعكس
‘’pada prinsipnya milk
al-‘ain (pemilikan atas benda) sejak awal disertai milk almanfaat (pemilikan atas manfaat), dan bukan
sebaliknya’’.
Maksudnya, setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan
pemilikan atas manfaat.Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda adalah
milk al-tam (pemilikan semourna). Sebaliknya,setiap pemilikan atas
manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya,sebagaimana yang
terjadi pada ijarah (persewaan) atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan
sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari pemilikan
yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada artinya pemilikan
atas suatu harta (al-mal) jika harta
tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh oleh
fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal
(harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat
merupakan unsur utama milkiyah
(pemilikan).
Prinsip kedua
ان اول ملكية تثبت على الشيئ الذى
لم يكن مملو كا قبلها انما تكون دائما ملكية تامّة
‘’pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu benda yang belum
pernah dimiliki sebelumnya senantiasa sebagai milk al-tam (pemilikan sempurna)’’.
Yang dimaksud dengan pemilikan pertama adalah pemilikan
diperoleh berdasarkan prinsip ihraz
al-mubahat dan dari prinsip tawallud
minal-mamluk. Pemilikan sempurna seperti ini akan terus berlangsung sampai
ada peralihan pemilikan. Pemilik awal dapat mengalihkan pemilikan atas banda
dan sekaligus manfaatnya melalui jual-beli,hibbahdan cara lain yang menimbulkan
peralihan milk al-tam kepada pihak
lain,mengalihkan manfaat saja atau bendanya saja kepada orang lain ini
merupakan pemilikan naqish.
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pemilikan
sempurna adakalanya diperoleh melalui pemilikan awal (ihraz al-mubahat dan al-tawallud), sedang pemilikan naqish hanya dapat diperoleh melalui
sebab peralihan dari pemilik awal, yakni melalui akad.
Prinsip ketiga
ان ملكية العين لاتقبل التوقبت اما
ملكية المنفعة فالاصل فيها التوقيت
‘’pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi waktu,
sedang pemilikan naqish dibatasi waktu’’.
Milk al-‘ain berlaku sepanjang saat (mu’abbadah) sampai terdapat akad yang
mengalihkan pemilikan kepada orang lain.Jika tidak muncul suatu akad baru dan
tidak terjadi khalafiyah, pemilikan terus berlanjut. Adapun milk al-manfaat yang tidak disertai
pemilikan bendanya berlaku dalam waktu yang terbatas,sebagaimna yang berlaku
pada persewaan, peminjaman, wasiat manfaat selama batas waktu yang telah
ditentukan maka berakhirlah milk-al
manfaat.
Batas waktu dalam milk
al manfaat ini jika bersumber dari akad mu’awwadhah
seperti ijarah (persewaan) maka
sebelum berakhir batas waktunya pemilik benda tidak berhak menuntut
pengembalian,karena sesungguhnya ijarah merupakan bai’ al-manfaat (jual beli atas manfaat) dalam batasan waktu
tertentu. Apabila milk al-manfaat
tersebut bersumber dari akad tabbaru’
seperti pada I’arah (peminjaman),
biasanya tidak diikuti batas waktu yang pasti. Namun pada umumnya pihak yang
meminjamkan menghendaki pengembalian dalam waktu dekat, sehingga setiap saat ia
dapat meminta pengembalian benda yang dipinjamkannya.
Sekalipun demikian para fuquha’ juga memperhatikan batas
waktu pengembalian ‘ariyah yang
menimbulkan kerugian pada pihak peminjam.Seperti jika seorang pemilik
meminjamkan tanah untuk kepentingan bercocok tanam, berkebun atau untuk
mendirikan bangunan.Kemuadian pemilik menghendaki pengembalian tanah tersebut
sebelum pekerjaan tersebut diselesaikan. Mengenai hal ini fuquha’ menetapkan
kebijakan dengan perincian perkasus,sebagaimana berikut ini.
(i)
Dalam kasus pinjaman untuk pertanian,pemilik tanah tidak berhak menuntut
pengembalian sebelum masa panen, sebab pertanian berlangsung dalam satu musim
tanam. Berbeda dengan kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini
penggunaan melebihi kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini
penggunaan melebihi batas waktu sampai masa panen diganti dengan penambahan ongkos
sewa. Dengan cara demikian terpeliharalah hak pemilik sedang pihak penyewa
tidak dirugikan.
(ii) Dalam kasus pinjaman
untuk tujuan perkebunan dan untuk mendirikan bangunan,pemilik tanah berhak
menarik kembali tanahnya setiap saat ia suka. Ketika itu peminjam wajib
mencabut kebun atau merobohkan bangunan dan menyerahkan tanah kepada pemiliknya
dalam keadaan kosong. Karena perkebunan pendirian bangunan berlangsung tidak
terbatas masa tertentu, tidak seperti pertanian yang berakhir dengan masa panen.
Namun jika sejak semula pinjaman tersebut dibatasi dengan waktu, sedang pemilik
menarik kembali tanahnya sebelum usaha yang dilakukan pihak pinjaman selesai
dilakukan, maka pemilik benar-benar telah berbuat curang (gharar) yang sangat merugikan. Dalam kasus sepeti ini pihak
peminjam berhak menuntut kerugian yang terhitung sejak pengosongan tanah sampai
batas akhir waktu, dengan mempertimbangakan harga jual bangunan atau
perkebunan.
Prinsip keempat
ان ملكية الاعيان لاتقبل الاسقاط
وانما يقبل النقل
‘’pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat
digugurkan,namun dapat dialihkan atau dipindah’.
Sekalipun seseorang bermaksud menggugurkan hak miliknya atas
suatu barang, tidak terjadi pengguguran, dan pemilikan tetap berlaku baginya.
Berdasarkan prinsip ini islam melarang sa’ibah
(litt.melepaskan),yaitu perbuatan semata menggugurkan atau melepaskan suatu
milik tanpa pengalihan kepada pemilik baru. Secara umum perbuatan ini termasuk
dalam kategori tabdzir
(menyia-nyiakan) karunia tuhan.
Prinsip kelima
ان الملكية الشائعة فى الاعيان
المادية هي فى الاصل كالملكية المتميزة المعينة فى قابلية التصرّف الالمانع
‘’pada prinsipnya mal
al-masya’ (pemilikan campuran) atas benda materi, dalam hal tasharruf, sama
posisinya dengan milk al-mutayyaz,
kecuali ada halangan (al-mani)’’.
Berdasarkan prinsip ini diperbolehkan menjual bagian dari
milik campuran,mewakafkan atau berwasiat atasnya. Karena tasharruf atas sebagian harta campuran sama dengan bertasharruf
atas pemilikan benda secara keseluruhan. Kecuali bertasharruf dengan tiga jenis
akad: rahn(jaminan utang), hibah dan ijarah (persewaan). Halangan bertasharruf pada rahn dikarenakan tujuan rahnadalah
sebagai agunan pelunasan hutang, sehingga marhun
(benda agunan)harus diserahkan kepada murtahin
(pemegang gadai/agunan). Yang demikian tidak sah dilakukan atas sebagian dari
milik campuran.
Halangan bertasharruf dengan hibbah dikarenakan kesempurnaan hibbah harus disertai penyerahan (aq-qabdhu), sedang penyerahan hanya
dapat dilakukan pada milk al-mutayyaz.(harta
dapat dipisahkan dari yang lainya). Adapun halangan tasharruf dengan ijarah,menurut pandangan fuquha’
hanafiyah adalah jika akad ijarah
tersebut dilakukan terhadap sebagian dari harta campuran.namun jika ijarah dilakukan oleh masing-masing sekutu
atas keseluruhan harta campuran, yang demikian ini tidak ada halangan.
Prinsip keenam
ان الملكية السائعة فى الديون
المشتركة و هي متعلقة بالذمم لاتقبل القسمة
‘’pada prinsipnya milik campuran atas hutang bersama yang
berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan’’.
Apabila pemilikan atas hutang berserikat telah dilunasi
(diserahkan) maka telah berubah menjadi milk
al-‘ain bukan lagi sebagai milk
al-dain.Kemudian dapat dilakukan pembagian bagi masing-masing pemiliknya,
sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap setiap harta campuran yang dapat
menerima pembagian.
Berdasarkan prinsip ini, apabila salah seorang dari sejumlah
orang yang memiliki piutang bersama menerima pelunasan hutang yang sepadan
dengan bagian yang dimilikinya, maka pelunasan tersebut harus dibagi di antara
sekutunya.Sebab kalau seorang di antara mereka dapat melepaskan diri dari
sekutunya dalam hal pelunasan hutang harus dinyatakan sebelumnya bahwa telah
terjadi pembagian atas piutang bersama dalam bentuk pertanggungan sehingga
tidak lagi sebagai piutang bersama, melainkan telah berubah menjadi piutang
mumayyazah.Demikianlah maksud dari ‘’piutang bersama tidak dapat
pisah-pisahkan’’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar