halaman

Kamis, 19 November 2015

KONSEP HAK MILIK




KONSEP HAK MILIK (AL-MILKIYAH )

A.    Pengertian Hak Milik[1]
Menurut pengertian umum, hak adalah :
“ Sesuatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum “.
Hak juga bisa berarti milik, ketetapan, dan kepastian, sebagaimana disebutkan dalam Alquran (QS. Yasin : 7)
Artinya : “ Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap  kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman “
Pengertian tentang hak, sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ushul, yaitu :
“ Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta “.
Ada juga yang mendefinisikan hak sebagai berikut.
“ Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseoarng kepada yang lainnya “.
“ kekhususan memungkinkan pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i ”.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik diri sendiri maupun dengan perantara orang lain. Berdasarkan definisi ini, kiranya dapat dibedakan antara hak dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut.
Seseorang pengampu berhak menggunakan harta yang berada di bawah ampuannya, pengampuannya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang dijelaskan di atas adakalanya merupakan sulthah, dan adakalanya pula merupakan taklif.
a.    Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala al nafsi dan sulthah ‘ala sya’in mu’ayanin.
ØSulthah ‘ala al nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hal hadlanah (pemeliharaan anak)

ØSulthah ‘ala sya’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseoarang berhak memiliki mobil.
b.    Taklif adalah orang yang bertanggung jawab, taklif adakalanya tanggungan pribadi (‘ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar utang.
Para fukaha berpendapat, bahwa hak merupakan imbangan dan benda (a’yan). Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa hak adalah bukan harta (ina al-haqqlaisah hi al-mal).

B.     Asal  - Usul Hak
Manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendirian, ia harus hidup bermasyarakat saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Dalam melakukan aktivitas jual beli, seseorang tidak bisa bermuamalah secara sendirian, bila ia menjadi penjual, maka sudah jelas ia memerlukan pembeli, dan seterusnya. Setiap manusia mempunyai kebutuhan, sehingga sering terjadi pertentangan kehendak. Untuk menjaga keperluan manusia agar tidak melanggar dan memperkosa hak – hak orang lain, maka timbullah hak dan kewajiban di antara sesama manusia. Hak milik telah diberi gambaran nyata oleh hakikat dan sifat syariat Islam, sebagai berikut.
ØTabiat dan sifat syariat Islam ialah merdeka (bebas). Dengan tabiat dan sifat ini, umat Islam dapat membentuk suatu kepribadian yang bebas dari pengaruh Negara – negara Barat dan Timur serta mempertahankan diri dari pengaruh – pengaruh Komunis (sosialis) dan kapitalis (individual).
ØSyariat Islam dalam menghadapi berbagai ke-musykil-an senantiasa bersandar kepada maslahat (kepentingan umum) sebagai salah satu sumber dari sumber – sumber pembentukan hukum islam.
ØCorak ekonomi Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah merupakan suatu corak yang mengakui adanya hak pribadi dan hak umum. Bentuk ini dapat memelihara kehormatan diri yang menunjukan jati diri. Individual adalah corak kapitalis, seperti Amerika Serikat, sedangkan sosialis adalah ciri khas komunis seperti Rusia pada tahun 1980-an. Sementara itu, ekonomi yang dianut Islam ialah sesuatu yang menjadi kepentingan umum yang dijadikan milik bersama, seperti rumput, api dan air, sedangkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan umum dijadikan milik pribadi.


C.  Sebab-sebab Pemilikan
Untuk memiliki harta, ternyata tidak semudah yang dipikirkan oleh manusia. Harta dapat dimilki oleh seseorang asal tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku ,baik hukum islam maupun hukum adat. Harta berdasarkan sifatnya dapat dimilki oleh manusia, sehingga manusia dapat memiliki suatu benda. Faktor – faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain :
1.      Ikraj al mubahat
Untuk harta yang mubah (belum dimilki oleh seseorang). Sesuai hadist yang disebutkan bahwa harta yang tidak termasuk dalam harta yang dihormati(milik yang sah) dan tidak ada penghalang syara' untuk dimilki .
Untuk memilki benda-benda mubhat diperlukan dua syarat ,yaitu :
a.       Benda mubhat belum diikhrazkan oleh orang lain. Seorang mengumpulkan air dalam satu wadah kemudian air tersebut dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut karena telah diikhrazkan orang lain .
b.      Adanya maksud mimiliki. Seorang memiliki harta mubhat tanpa adanya niat, itu tidak termasuk ikhraz. Seumpama seorang pemburu meletakkan jaringnya di sawah kemudian terjeratlah burung – burung. Apabila pemburu meletakkan jaring itu hanya sekedar untuk mengeringkan jaringannya, maka ia tidak berhak memiliki burung-burung tersebut .
2.      Khalafiyah
Bertempatnya seorang atau sesuatu yang baru bertempat ditempat yang lama, maka telah hilang berbagai macam haknya .
Kalifah ada dua macam :
a.       Khalifah syakhsy'an syaksysi
 waris menempati tempat si muwaris dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris. Jadi, harta yang ditinggalkan muwaris disebut tirkah .
b.      Khalifah syai'an
Apabila seorang merugikan milik orang lain kemudian rusak ditangannya, maka wajiblah dibayar harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik harta tersebut. Maka, khalfiyah syai'in ini disebut tadlimin atau ta'wil (menjamin kerugian).

3.    Tamwull min ta mamluk
Segala yang terjadi dari benda yang telah dimiliki menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut .Misalnya, bulu domba menjadi hak milik bagi pemilik domba .
Dari segi iktiar , sebab malaiyah (memiliki) dibagi menjadi dua macam , yaitu :
a.       ikhtiyariyah
Sesuatu yang mempunyai hak ikhtiar manusia dalam mewujudkannya. Sebab ini dibagi menjadi dua macam ,yaitu ikhraj al mubahat dan 'uqud .
b.      Jabariyah
Sesuatu yang senantiasa tidak mempunyai ikhtiar manusia dalam mewujudkannya. Sebab jabariyah dibagi dua yaitu irts dan tawallud min al mamluk .

4. Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun, Umar r.a ketika menjabat menjadi khalifah berkata : sebidang tanah akan menjadi milik seseorang yang memanfaatkannya dari seseorang yang tidak memanfaatkannya selama tiga tahun. Hanafiyah berpendapat bahwa tanah yang belum ada pemiliknya kemudian dimanfaatkan oleh seseorang, maka orang yang memanfaatkannya itu berhak memiliki tanah itu.

D.  Pembagian Hak
Berbicara masalah pembagian hak, maka jumlah dan macamnya banyak sekali, antara lain dalam pengertian umum, hak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak mal dan hak ghair mal. Adapun pengertian hak mal :
“ Sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau utang-utang “.
Hak ghair mal terbagi dua bagian, yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini.
a.        Hak syakhshi
Hak syakhshi adalah “ Sesuatu tuntunan yang ditetapkan syara’ dari seseorang terhadap orang lain “.
b.      Hak ‘aini
Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua macam: ashli dan thab’i. Hak ‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shabul al-haq, seperti hak milikiyah dan hak irtifaq. Hak ‘aini thab’i ialah jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang menguntungkan uangnya atas yang berhutang. Apabila yang berhutang tidak sanggup membayar, maka murtahin berhak menahan barang itu.
Macam-macam hak ‘aini ialah sebagai berikut.
ØHaq al-milikiyah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah. Boleh dia memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskannya, merusakkannya, dan membinasakannya, dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
ØHaq al-intifa ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan diusahakn hasilnya. Haq al-Isti’mal (menggunakan) terpisah dari haq al istiqlal (mencari hasil), misalnya rumah yang diwakafkan untuk didiami. Si mauquf ‘alaih hanya boleh mendiami, ia tidak boleh mencari keuntungan dari rumah itu.
ØHaq al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk suatu kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh pemilik kebun pertama. Misalnya saudara Ibrahim memiliki sawah di sebelahnya sawah saudara Ahmad. Air dari selokan dialirkan ke sawah saudara Ibrahim. Sawah Tuan Ahmad pun membutuhkan air. Air dari sawah saudara Ibrahim dialirkan ke sawah dan air tersebut bukan milik saudara Ibrahim.
ØHaq al-istihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang digadaikan. Rahn menimbulkan hak ‘aini bagi murtahin, hak itu berkaitan dengan harga barang yang digadaikan, tidak berkaitan dengan zakat benda, karena rahn hanyalah jaminan belaka.
ØHaq al-ihtibas ialah hak menahan sesuatu benda. Hak menahan barang (benda) seperti hak multaqith (yang menemukan barang) menahan benda luqathah.
ØHaq qarar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak menetapkan atas tanah wakaf ialah :
·   Haq al-hakr ialah menetap di atas tanah wakaf yang disewa, untuk yang lama dengan seizin hakim;
·    Haq al-ijaratain ialah hak yang diperoleh karena akad ijarah dalam waktu yang lama, dengan seizin hakim, atau tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam keadaan semula misalnya karena kebakaran dengan harga yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya dibayar setiap tahun.
·      Haq al-qadar ialah hak menambah bangunan yang dilakukan oleh penyewa;
·      Haq al-marshad ialah hak mengawasi atau mengontrol
ØHaq al- murur ialah “ hak jalan manusia pada miliknya dari jalan umum atau jalan khusus pada milik orang lain”.
ØHaq ta’alli ialah
“Hak manusia untuk menempatkan bangunannya di atas bangunan orang lain“.
ØHaq al-jiwar ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh berdempetnya batas-batas tempat, tinggal, yaitu hak-hak untuk mencegah pemilik uqur dari menimbulkan kesulitan terhadap tetangganya.
ØHaq Syuf’ah atau haq syurb ialah “ Kebutuhan manusia terhadap air untuk diminum sendiri dan untuk diminum bintangnya serta untuk kebutuhan rumah tangganya “.

Ditinjau dari hak syurb, maka jenis air dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a.    Air umum yang tidak dimiliki oleh seseorang, misalnya air sungai, rawa-rawa, telaga, dan lainnya. Air milik bersama (umum) boleh digunakan oleh siapa saja dengan syarat tidak memadharatkan orang lain.
b.    Air di tempat yang ada pemiliknya, seperti sumur yang dibuat oleh seorang untuk mengairi tanaman di kebunnya, selain pemilik tanah tersebut tidak berhak untuk menguasai tempat air yang dibuat oleh pemiliknya. Orang lain boleh mengambil manfaat dari sumur tersebut atas srizin pemilik kebun.
c.    Air yang terpelihara, yaitu air yang dikuasai oleh pemiliknya, dipelihara dan disimpan di suatu yang telah disediakan, misalnya air di kolam, kendi, dan bejana-bejana tertentu.

E.   Klasifikasi Pemilikan
     Dalam Fiqh Muamalah, milik dibagi dari beberapa segi atau aspek yang diantaranya :
1. Hak Milik Berdasarkan Penuh atau Tidak (ma yatsatam aw naquson) milik terbagi dua :
a.  Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya baik benda dan kegunaannya dapat dikuasai. Pemilikan tam bisa diperoleh salah satunya melalui jual beli.seperti pemilik dari rumahnya sendiri.
b. Milk naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut, yaitu memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya yang disebut raqabah atau memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki bandanya yang disebut milik manfaat atau hak guna pakai dengan cara i’arah, wakaf, dan washiyah.
misalnya ahli waris yang pewarisnya belum wafat.
      2.  Hak Milik Berdasarkan Bentuk
a. Kepemilikan yang didasari dari bentuk barangnya. 
1. Kepemilikan barang (Milkiyatun al-’ain)
a.       Barang yang dapat dipindah (al-mangkulah), barang yang dapat berpindah-pindah contohnya adalah tas.
b.      Perhiasan (al-ma’ta), perhiasan yang memiliki nilai jual bagi pemiliknya, seperti emas, berlian yang suatu hari dapat dijual kembali.
c.       Hewan (al-haiwan), barang yang berbentuk hewan, seperti sapi, kambing.
d.      Tetap (al-’uqar) barang tetap tidak dapat berpindah-pindah seperti tanah, gedung.
b.Kepemilikan manfaat (Milkiyatun manfaat) kepemilikan berdasarkan manfaatnya, seperti buku, karena buku dimiliki bukan berdasarkan kertasnya, cover melainkan karena manfaatnya.
c. Kepemilikan hutang (Milkiyatun al-adiyan), kepemilikan yang berkaitan dengan hutang dan kredit-kredit lainnya..     
3.      Hak milik berdasarkan keterpautan (shurah)
a.       Milkiyatun mutamaziyah, yaitu sesuatu yang berpaut dengan yang lain yang adanya batasan-batasan,yang dapat memisahkan dari yang lain
Contoh : kejelasan perbedaan antara mobil dan rumah, jika di halaman rumah terparkir mobil belum tentu itu adalah mobil dari pemilik rumah, bisa saja itu mobil milik tamu, karena ada kejelasan perbedaan antara mobil dan rumah.
b.      Milkiyatun sya-i’ah atau milik al-musya, yaitu milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpilan sesuatu, betapa besarnya atau betapa kecilnya kumpulan itu atau bisa dikatakan adanya pembagian dari keseluruhan, adanya pembagian, contohnya dalam hal investasi seriap investor memiliki bagiannya tersendiri di perusahaan, maka kepemilikan perusahaan tersebut dibagi-bagi.
F.   Beberapa Prinsip Pemilikan
Pemilikan dalam berbagai jenis dan corak sebagaimana yang telah disampaikan di muka memiliki beberapa prinsip yang bersifat khusus.Prinsip tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum pada sebagian jenis pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan lainnya. Prinsip-prinsip tersebut  adalah sebagaimana disampaikan di bawah ini.
Prinsip pertama .
ان الملك العين يستلزم مبد ئيا ملك المنفعة ولاعكس
‘’pada prinsipnya milk al-‘ain (pemilikan atas benda) sejak awal disertai milk almanfaat (pemilikan atas manfaat), dan bukan sebaliknya’’.
Maksudnya, setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan atas manfaat.Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda adalah milk al-tam (pemilikan semourna). Sebaliknya,setiap pemilikan atas manfaat tidak mesti diikuti dengan pemilikan atas bendanya,sebagaimana yang terjadi pada ijarah (persewaan) atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan sebagai pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari pemilikan yang sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang.Tidak ada artinya pemilikan atas suatu harta (al-mal) jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat.Inilah prinsip yang dipegang teguh oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal (harta) sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat merupakan unsur utama milkiyah (pemilikan).

Prinsip kedua
ان اول ملكية تثبت على الشيئ الذى لم يكن مملو كا قبلها انما تكون دائما ملكية تامّة
‘’pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu benda yang belum pernah dimiliki sebelumnya senantiasa sebagai milk al-tam (pemilikan sempurna)’’.
Yang dimaksud dengan pemilikan pertama adalah pemilikan diperoleh berdasarkan prinsip ihraz al-mubahat dan dari prinsip tawallud minal-mamluk. Pemilikan sempurna seperti ini akan terus berlangsung sampai ada peralihan pemilikan. Pemilik awal dapat mengalihkan pemilikan atas banda dan sekaligus manfaatnya melalui jual-beli,hibbahdan cara lain yang menimbulkan peralihan milk al-tam kepada pihak lain,mengalihkan manfaat saja atau bendanya saja kepada orang lain ini merupakan pemilikan naqish.
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pemilikan sempurna adakalanya diperoleh melalui pemilikan awal (ihraz al-mubahat dan al-tawallud), sedang pemilikan naqish hanya dapat diperoleh melalui sebab peralihan dari pemilik awal, yakni melalui akad.
Prinsip ketiga
ان ملكية العين لاتقبل التوقبت اما ملكية المنفعة فالاصل فيها التوقيت
‘’pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi waktu, sedang pemilikan naqish dibatasi waktu’’.
Milk al-‘ain berlaku sepanjang saat (mu’abbadah) sampai terdapat akad yang mengalihkan pemilikan kepada orang lain.Jika tidak muncul suatu akad baru dan tidak terjadi khalafiyah, pemilikan terus berlanjut. Adapun milk al-manfaat yang tidak disertai pemilikan bendanya berlaku dalam waktu yang terbatas,sebagaimna yang berlaku pada persewaan, peminjaman, wasiat manfaat selama batas waktu yang telah ditentukan maka berakhirlah milk-al manfaat.
Batas waktu dalam milk al manfaat ini jika bersumber dari akad mu’awwadhah seperti ijarah (persewaan) maka sebelum berakhir batas waktunya pemilik benda tidak berhak menuntut pengembalian,karena sesungguhnya  ijarah merupakan bai’ al-manfaat (jual beli atas manfaat) dalam batasan waktu tertentu. Apabila milk al-manfaat tersebut bersumber dari akad tabbaru’ seperti pada I’arah (peminjaman), biasanya tidak diikuti batas waktu yang pasti. Namun pada umumnya pihak yang meminjamkan menghendaki pengembalian dalam waktu dekat, sehingga setiap saat ia dapat meminta pengembalian benda yang dipinjamkannya.
Sekalipun demikian para fuquha’ juga memperhatikan batas waktu pengembalian ‘ariyah yang menimbulkan kerugian pada pihak peminjam.Seperti jika seorang pemilik meminjamkan tanah untuk kepentingan bercocok tanam, berkebun atau untuk mendirikan bangunan.Kemuadian pemilik menghendaki pengembalian tanah tersebut sebelum pekerjaan tersebut diselesaikan. Mengenai hal ini fuquha’ menetapkan kebijakan dengan perincian perkasus,sebagaimana berikut ini.
(i)   Dalam kasus pinjaman untuk pertanian,pemilik tanah tidak berhak menuntut pengembalian sebelum masa panen, sebab pertanian berlangsung dalam satu musim tanam. Berbeda dengan kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi kasus persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi batas waktu sampai masa panen diganti dengan penambahan ongkos sewa. Dengan cara demikian terpeliharalah hak pemilik sedang pihak penyewa tidak dirugikan.
(ii)      Dalam kasus pinjaman untuk tujuan perkebunan dan untuk mendirikan bangunan,pemilik tanah berhak menarik kembali tanahnya setiap saat ia suka. Ketika itu peminjam wajib mencabut kebun atau merobohkan bangunan dan menyerahkan tanah kepada pemiliknya dalam keadaan kosong. Karena perkebunan pendirian bangunan berlangsung tidak terbatas masa tertentu, tidak seperti pertanian yang berakhir dengan masa panen. Namun jika sejak semula pinjaman tersebut dibatasi dengan waktu, sedang pemilik menarik kembali tanahnya sebelum usaha yang dilakukan pihak pinjaman selesai dilakukan, maka pemilik benar-benar telah berbuat curang (gharar) yang sangat merugikan. Dalam kasus sepeti ini pihak peminjam berhak menuntut kerugian yang terhitung sejak pengosongan tanah sampai batas akhir waktu, dengan mempertimbangakan harga jual bangunan atau perkebunan.
Prinsip keempat
ان ملكية الاعيان لاتقبل الاسقاط وانما يقبل النقل
‘’pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat digugurkan,namun dapat dialihkan atau dipindah’.
Sekalipun seseorang bermaksud menggugurkan hak miliknya atas suatu barang, tidak terjadi pengguguran, dan pemilikan tetap berlaku baginya. Berdasarkan prinsip ini islam melarang sa’ibah (litt.melepaskan),yaitu perbuatan semata menggugurkan atau melepaskan suatu milik tanpa pengalihan kepada pemilik baru. Secara umum perbuatan ini termasuk dalam kategori tabdzir (menyia-nyiakan) karunia tuhan.
Prinsip kelima
ان الملكية الشائعة فى الاعيان المادية هي فى الاصل كالملكية المتميزة المعينة فى قابلية التصرّف الالمانع
‘’pada prinsipnya mal al-masya’ (pemilikan campuran) atas benda materi, dalam hal tasharruf, sama posisinya dengan milk al-mutayyaz, kecuali ada halangan (al-mani)’’.
Berdasarkan prinsip ini diperbolehkan menjual bagian dari milik campuran,mewakafkan atau berwasiat atasnya. Karena tasharruf atas sebagian harta campuran sama dengan bertasharruf atas pemilikan benda secara keseluruhan. Kecuali bertasharruf dengan tiga jenis akad: rahn(jaminan utang), hibah dan ijarah (persewaan). Halangan bertasharruf pada rahn dikarenakan tujuan rahnadalah sebagai agunan pelunasan hutang, sehingga marhun (benda agunan)harus diserahkan kepada murtahin (pemegang gadai/agunan). Yang demikian tidak sah dilakukan atas sebagian dari milik campuran.
Halangan bertasharruf dengan hibbah dikarenakan kesempurnaan hibbah harus disertai penyerahan (aq-qabdhu), sedang penyerahan hanya dapat dilakukan pada milk al-mutayyaz.(harta dapat dipisahkan dari yang lainya). Adapun halangan tasharruf dengan ijarah,menurut pandangan fuquha’ hanafiyah adalah jika akad ijarah tersebut dilakukan terhadap sebagian dari harta campuran.namun jika ijarah dilakukan oleh masing-masing sekutu atas keseluruhan harta campuran, yang demikian ini tidak ada halangan.
Prinsip keenam
ان الملكية السائعة فى الديون المشتركة و هي متعلقة بالذمم لاتقبل القسمة
‘’pada prinsipnya milik campuran atas hutang bersama yang berupa suatu beban pertanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan’’.
Apabila pemilikan atas hutang berserikat telah dilunasi (diserahkan) maka telah berubah menjadi milk al-‘ain bukan lagi sebagai milk al-dain.Kemudian dapat dilakukan pembagian bagi masing-masing pemiliknya, sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap setiap harta campuran yang dapat menerima pembagian.
Berdasarkan prinsip ini, apabila salah seorang dari sejumlah orang yang memiliki piutang bersama menerima pelunasan hutang yang sepadan dengan bagian yang dimilikinya, maka pelunasan tersebut harus dibagi di antara sekutunya.Sebab kalau seorang di antara mereka dapat melepaskan diri dari sekutunya dalam hal pelunasan hutang harus dinyatakan sebelumnya bahwa telah terjadi pembagian atas piutang bersama dalam bentuk pertanggungan sehingga tidak lagi sebagai piutang bersama, melainkan telah berubah menjadi piutang mumayyazah.Demikianlah maksud dari ‘’piutang bersama tidak dapat pisah-pisahkan’’.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar