halaman

Rabu, 18 November 2015

KONFLIK PADA MASA KEPEMIMPINAN KHALIFAH ALI



PEMBAHASAN
A.     PERANG JAMAL (656 M)
1.      Latar Belakang Terjadinya Perang Jamal
Setelah khalifah Ali dibai’at menjadi khalifah, Thalhah dan Azzubeir meminta izin untuk pergi ke makah untuk bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah. Setelah bertemu dengan Aisyah di Makah, mereka berencana untuk menuntut kepada Khalifah Ali supaya segera mengkishas orang-orang yang terlibat atas pembunuhan Khalifah utsman dan oleh meraka diajukannya permohonan itu kepada Khalifah Ali. Akan tetapi khalifah Ali tidak mengizinkannya, dan lebih memilih untuk melakukan perundingan terlebih dahulu dengan Kelompok ummul Mukminiin dkk. Hal ini dikarenakan, khalifah Ali melihlat negara masih dalam keadaan kacau dan sebagian dari yang membunuh Khalifah Utsman adalah orang islam sendiri sehingga akan mengkibatkan  perpecahan yang lebih besar.  Maka untuk mengatasinya, diutuslah dari kedua kelompok tadi untuk melakukang Syura. Dari kelompok Aisyah diutuslah Thalhah dan Azzubeir, dari kelompok Khalifah Ali diutuslah Al-Miqdad dan Al Qa’qa.
Dalam perundingan ini, mereka sepakat untuk menunda pengkishashan atas kelompok yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah utsman.
2.      Meletusnya Peperangan
Setelah selesainya perundingan, kedua kubu akhirnya dapat tidur dengan tenang. Akan tetapi dipihak lain, yaitu Abdullah Ibn Saba (salah satu dari anggota yang terlibat dalam pembunuhan khalifah utsman) tidak dapat bergerak dengan bebas dan merasa terjag, maka dia beserta kawannya berniat untuk menyerang kelompok thalhah dan Azzubeir mengacaukan hasil dari perundingan tadi, dan akhirnya menimbulkan peperangan.
Pada suatu malam ketika orang-orang dari kelompok Thalhah dan Azzubeir sedang tidur, abdullah bin Saba mulai melancarkan serangan dan membunuh beberapa orang dari kelompok itu kemudian mereka kabur. Kelompok thalhah mengira kelompok ali telah menghianati mereka. Dan merekapun melakukan pembalasan atas penyerangan tadi. Kemudian dari kelompok ali juga mengira bahwa dari kelompok thalhaha telah mekakukan penghianatan, dan terjadilah saling serang menyarang. Yang pada akhirnya, Khalifah ali membawa pasukan sebanyak 10.000 tentara pasukan. Dari pihak Aisyah, Thalhah dan Azzubeir disertai pasukan yang berjumlah 5000-6000 pasukan unta (jamal).
Peperangan ini disebut perang jamal, karena dari pihal Siti aisyah dkk menggunakan Unta sebagai tunggangan perang mereka. Dalam peperangan ini, Thalhah mati terbunuh oleh Marwan Bin Hakam dan Azzubeir mati terbunuh oleh Amr Bin Ash.
3.      Pasca Terjadinya Peperangan
Pada perang ini banyak sekali kaum muslimin yang tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah agara menyelamatkan pedang-pedang kita darinya. Kita memohon kepada Allah agar meridhai dan memberi ampunan kepada mereka (kaum Muslimin yang iktu dalam perang ini).

B.     PERANG SIFFIIN (657 M)
1.      Latar Belakang Terjadinya Peperangan
Setelah terangkatnya khalifah Ali menjsdi khalifah, beliau melakukan pembenahan terhadap negerinya. Termasuk mengambil harta-harta yang telah dibagikan oleh khalifah utsman kepada kerabatnya dan menurunkan para pemimpin yang tidak disukai oleh para warga termasuk menrunkan Muawiyyah yang mana pada waktu itu sebagai gubernur di syam. Akan tetapi Muawiyah menolak bahkan tidak mengakui dan membai’at atas kekhalifahan Ali.
2.       Meletusnya Peperangan
Setelah Muawiyah menolak atas perintah penurunan jabatan, lalu Ali mengirim surat kepada Muawaiyah, namun surat itu tidak dibalas hingga tiga bulan setelah wafatnya Utsman. Lalu, Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi menghadap Khalifah Ali dan menyatakan alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat. Mereka meminta agar pelaku yang terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman untuk diadili. Utusan Khalifah Ali pun keluar dari Syam karena penduduk provinsi itu menolak memberi baiat, kecuali pelaku pembunuhan Khalifah Utsman dihukum. Kelompok Sabaiyah pun semakin terancam karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.
Lalu, mereka mendesak Amirul Mukminin untuk memerangi Muawiyah. "Maka, para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Syam," demikian tertulis dalam Al Bidayah wa An Nihayah.
Awalnya, Imam Ali tak pernah berniat untuk perang. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah menyebutkan, khalifah mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Irak untuk mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah.
Mendengar kabar itu, Muawiyah naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jamaah, "Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Irak untuk kalian. Apa pendapat kalian?" Para jamaah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan, "Anda yang berpikir, kami yang melaksanakan." Akhirnya, Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi tiga bagian. 
Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali lalu mengabarkan apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jamaah, "Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?" Semua hadirin terheran dan berbicara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar dengan mengatakan, "la haula wa la quwwata ila billah (tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah)". 
Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Siffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan dengan mengharap pertempuran bisa terhindar. 
Dalam Al Bidayah wa An Nihayah, disebutkan Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan bertanya, "Apakah engkau melawan Ali?" Muawiyah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama, dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku." 
"Akan tetapi, bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terzalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya."
Maka peperanganpun tidak dapat terhindarkan lagi dan berlangsung dengan begitu hebat. Setelah sekian lama peperangan berlangsung, pasukan Muawiyyah mulai mendekati kekalahan. Yang kira-kira sudah terhitung 45.000 orang yang gugur, maka Amr bin Ash dari pihak Muawiyyah dengan aba-abanya melakukan pengangkatan Al-Quran yang ditancapkan pada ujung tombak mereka. Khalifah Ali, menyadari betul bahwa ini merupakan taktik licik untuk menghentikan peperangan. Sebab kemenangan sudah semakin terasa akan memihak Khalifah Ali. Akan tetapi sebagian pasukan Ali ada yang terpengaruh dengan tindakan Amr bin Ash. Yang pada akhirnya, Khalifah Ali terbujuk oleh perkataan sebagian dari pasukannya dan mereka memeutuskan untuk melakukan Tahkim.

3.      Pasca Terjadinya Peperangan
Setelah Khalifah Ali menerima untuk melakukan Tahkim, maka peperanganpun berakhir. Dalam Tahkim ini, dari pihak khalifah Ali diutuslah seorang yang terkenal dengan kejujurannya dan tidak cedik yaitu Abu Musa Al-Asyari. Dan dari pehak Muawiyyah diwakili oleh Amr Bin Ash yang terkenal dengan kecerdikannya. Dalam tahkim ini, mereka sepakat untuk menurunkan masing-masing jabatan kepemimpinan.
Abu musa Al-asyari maju duluan keatas mimbar dan beliau berkata, mulai hari ini sampai hari yang akan datang saya sebagai utusan dari Khalifah Ali menyatakan untuk turun dari kursi kepemimpinan. Kemudian naiklah amr bin Ash, sebagai wakil dari Muawiyyah ia berkata, Saya sebagai wakil dari Muawiyyah menyatakan bahwa dari detik ini, beliau menyatakan menjadi khalifah pengganti Ali.
Mendengar keputusan seperti itu, Khalifah Ali merasa ditipu oleh Muawiyyah. Dan para pendukung ali terbagi menjadi dua. Yaitu kelompok pertama adalah mereka yang secara terpaksa menerima hasil tahkim dan mereka tetap setia pada Ali Bin Abi Thalib. Sedangkan kelompok yang kedua, adalah kelompok yang menolak hasil tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib. Mereka menyatakan diri keluar dari pendukung Ali bin Abi Thalib yang kemudian melakukan  perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk ali bin abi thalib.
Sebagai oposisi terhadap pemerintahan yang ada, khawarij mengeluarkan beberapa statemen yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai orang-orang kafir. Khawarij berpendapat bahwa utsman bin affan telah menyeleweng dari ajaran islam. Demikian juga ali bin abi thalib telah menyeleweng dari ajaran islam karena telah melakukan tahkim. Dalam pandangan Khawarij Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thlalib adalah termasuk orang murtad dan telah kafir. Tidak hanya kedua khalifah diatas yang disebut kafir, Muawiyyah, Amr Bin Ash, Abu Musa Al-Asyari dan semua orang yang menerima tahkim.
Dalam mengeluarkan statamen politiknya, nampaknya khawarij sudah tidak berada dalam jalur politik, tetapi berada dalam wilayah atau jalur teologi atau kalam yang merupakan pondasi bagi keberagamaan seseorang.

C.     PERANG NAHRAWAN (658)
1.      Latar Belakang Terjadinya Peperangan Peperangan
Sebab sebab yang menjadikan terjadinya perang ini, sangat erat sekali kaitannya dengan proses penerimaan serta hasil dari pada tahkim. Yaitu, khalifah ali menerima negosiasi dari Muawiyyah melalui pelantara Amr Bin Ash. Kemudian, setelah diterimanya negosiasi tersebut, dari kedua belah pihak mengirim utusan untuk menjadi wakilnya. Dari pihak Khalifah Ali, dikirimlah seorang yang terkenal dengan kejujurannya yaitu, Abu Musa Al-Asyari. Dan dari pihak Muawiyyah diutus seorang yang terkenal dengan kecerdikannya, yaitu Amr Bin Ash. Hasil akhir dari pada tahkim ini, adalah berbuah kekecewaan yang sangat menyakitkan. Sebagai respon dari hasil tahkim ini, para pendukung Ali terbagi menjadi dua kelompok. Yang pertama kelompok yang masih pro dan sangat setia terhadap Ali, dan kelompok yang kedua, adalah kelompok yang  kontra dan berbalik untuk menyerang Khalifah Ali yang kemudian mereka disebut dengan Khawarij.
2.      Terjadinya Peperangan
Mereka maju menyerbu ke arah pasukan Ali. Ali memerintahkan pasukan berkuda untuk maju ke depan, lalu memerintahkan agar pasukan pemanah mengambil tempat di belakang pasukan berkuda. Kemudian menempatkan pasukan infanteri di belakang pasukan berkuda. Beliau berkata kepada pasukan, “Tahanlah, hingga merekalah yang memulainya!” Pasukan Khawarij maju seraya meneriakkan kata-kata, “Tidak ada hukum melainkan milik Allah SWT., marilah bersegera menuju surga!” Mereka menyerang pasukan berkuda yang dimajukan oleh Ali. Mereka membelah pasukan berkuda hingga sebagian dari pasukan berkuda menyingkir ke kanan dan sebagian lagi menyingkir ke kiri. Lalu mereka disambut oleh pasukan pemanah dengan panah-panah mereka.
Pasukan pemanah memanahi wajah-wajah mereka kemudian pasukan berkuda mengurung mereka dari kanan dan dari kiri. Lalu pasukan infanteri menyerbu mereka dengan tombak dan pedang. Mereka menghabisi pasukan Khawarij sehingga korban yang gugur terinjak-injak oleh kaki kuda. Turut tewas pula pada peperangan itu pemimpin mereka, Abdullah bin Wahab, Hurqush bin Zuhair, Syuraih bin Aufa dan Abdullah bin Syajarah as-Sulami. Sementara dari pasukan Ali hanya terbunuh tujuh orangsaja.
3.      Pasca Peperangan
Ali berjalan di antara korban-korban yang tewas sembari berkata, “Celakalah kalian, kalian telah dibinasakan oleh yang menipu kalian!” Orang-orang berkata, “Wahai Amirul Mulamnin, siapakah yang telah menipu mereka?” Ali menjawab, “Setan dan jiwa yang selalu menyuruh berbuat jahat. Mereka telah ditipu oleh angan-angan dan terlihat indah oleh mereka perbuatan maksiat dan membisiki mereka seolah mereka telah menang!” Kemudian Ali memerintahkan untuk mengumpulkan orang-orang yang terluka dari mereka, ternyata jumlahnya empat ratus orang. Ali menyerahkan mereka kepada kabilah-kabilah mereka untuk diobati.
Lalu membagikan senjata dan barang yang dirampas kepada mereka. Al-Haitsam bin Adi berkata, “Ali tidak membagi-bagikan harta rampasan perang yang dirampas dari kaum Khawarij pada peperangan Nahrawan. Namun beliau mengembalikan seluruhnya kepada keluarga-keluarga mereka. Sampai-sampai sebuah periuk beliau menolaknya dan mengembalikan kepada keluarga si empunya.
Al-Haitsam bin Adi berkata, “Ismail bin Abi Khalid telah menyampaikan kepada kami dari Hakim bin Jabir, ia berkata, ‘Ali ditanya tentang pasukan Khawarij dalam perang Nahrawan, apakah mereka termasuk kaum musyrikin?’ Ali menjawab, ‘Justru mereka menghindar dari kemusyrikan.’ Ada lagi yang bertanya, ‘Apakah mereka termasuk kaum munafikin?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya kaum munafikin tidak mengingat Allah SWT. kecuali sedikit’ Kemudian ada yang bertanya, ‘Lalu bagaimanakah kedudukan mereka wahai Amirul Mukminin?’ Ali menjawab, ‘Mereka adalah saudara-saudara kita yang membangkang terhadap kita. Kita memerangi mereka karena pembangkangan mereka itu’.”




















BAB 3
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Setelah mengamati beberapa peristiwa yang sangat memilukan bagi umat islam diatas, ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Sebab, persaingan untuk memperebutkan tahta keduniaan itu tidak sedikit yang berujung dengan pertumpahan darah walaupun dengan saudara sendiri. Sebagaimana dalam sebuah hadis dikatakan:
حب الدنيا رﺃس كل خطيئة
“Cinta pada dunia merupakan pokoknya kesalahan.”
Maka seyogyanya kita sebagai orang yang mendapatkan petunjuk, hendaknya jangan terlalu memetingkan perkara dunia. 
Kemudian disamping poin diatas, hendaknya kita dapat mengendalikan diri dari hal-hal yang dapat membuat kita marah. Walaupun hal itu erat kaitannya dengan kejadian yang menimpa keluarga kita. Yang terakhir, seyogyanya bagi kita  untuk memanfaatkan kepercayaan dari seseorang sekecil apapun itu.
B.     SARAN
Sebagaimana dalam sebuah hadis dikatakan, yang berbunyi:
الانسان محل الخطاء والنسيان
Artinya:” manusia adalah tempatnya kesalahan dan lupa.”
Sebagaimana hadis diatas, besar harapan kami kepada pembaca untuk  menyumbangkan pikirannya berupa kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan sebuah instrospeksi pada masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar