halaman

Senin, 19 Mei 2014

WAKAF DALAM ISLAM

PEMBAHASAN
2.1         Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fiqih.
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, bantuan kepada fakir miskin.
 Firman Allah SWT di dalam    QS. Al-Hajj : 77
...dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan”  

2.2         Dasar Hukum Wakaf
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Q.S ali Imran:92).
Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.
Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).
Dalil Ijma' :Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180)
·         Pelaksanaan wakaf di Indonesia
Di Indonesia pelaksanaan wakaf diatur undang-undang Republik Indonesia No.41 Tahun 2004 tentang wakaf yang disahkan Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004. Dalam praktiknya wakaf di Indonesia telah ditangani oleh Lembaga Departemen Agama Republik Indonesia.
Tata cara wakaf di Indonesia adalah sebagai berikut :
a.         Calon wakaf yang akan mewakafkan tanahnya menghadap kepada nazir di hadapan pejabat pembuat akte ikrar wakaf yang mewilayahi tanah wakaf itu.
b.        Ikrar wakaf disaksikan oleh sedikit-dikitnya dua orang saksi yang sehat akal dan dilakukan secara tertulis.
c.    Ikrar wakaf ditulis dengan persetujuan kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya yang mewilayahi tanah wakaf itu dan dibicarakan di hadapan PPAIW
d.   Tanah wakaf itu dalam keadaan bebas dari ikatan/sengketa.

2.3         Macam-Macam Wakaf
1.      Wakaf untuk perorangan, yaitu memberikan kepada seseorang atau manfaatnya hanya untuk orang yang diberi saja.
2.      Wakaf untuk umum, yaitu memberikan kepada seseorang atau kelompok untuk kepentingan umum/orang banyak.
Wakaf inilah yang dianjurkan oleh agama islam. Misalnya untuk mesjid, sekolah, jalan, panti dan lain-lain.
Adapun beberapa macam wakaf yang dijelaskan dibawah ini adalah wakaf yang menjadi perselisihan antara beberapa ulama tentang sah atau tidaknya :
1.      Putus awalnya, seperti kata seorang, “saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kemudian kepada fakir miskin”, sedangkan dia tidak mempunyai anak. Ini tidak sah karena tidak dapat diberikan sekarang.
2.      Putus ditengah, umpamanya seseorang berkata, “saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kepada seseorang dengan tidak ditentukan, kemudian kepada orang miskin”. Menurut pendapat yang kuat , wakaf ini sah. Diberikannya wakaf sesudah tingkatan pertama kepada tingkatan kedua.
3.      Putus akhirnya, umpamanya dia berkata, “saya wakafkan ini kepada beberapa anak A”, dengan tidak diterangkan kepada siapa. Wakaf semacam ini sah juga menurut pendapat mu’tamad, sesudah habis anak dari A. sebagian ulama berpendapat bahwa hasil wakaf diberikan kepada orang yang paling dekat hubungan kerabatannya dengan orang yang berwakaf, karena sedekah kepada keluarga lebih utama. Tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat diberikan kepada fakir dan miskin.

2.4         Beberapa Syarat Syah Wakaf :
1.      Selama-lamanya, berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika seseorang berkata “saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun” maka wakaf semacam ini tidak sah karena tidak selamanya.
2.      Tunai dan tidak ada khiyar syarat, sebab wakaf itu maksudnya adalah memindahkan milik pada waktu itu. Jika disyaratkan khiyar, atau dia berkata “kalau si A datang, saya wakafkan ini kepada murid-murid” maka wakaf semacam ini tidak sah karena tidak tunai. Kecuali kalau dihubungkan dengan mati, umpamanya di berkata “saya wakafkan sawah saya sesusah saya mati kepada ulam Garut” maka lafadz ini sah menjadi wasiat bukan wakaf.
3.      Hendaklah jelas kepada siapa diwakafkan. Kalau dia berkata, “saya wakafkan rumah ini”, wakaf itu tidak sah karena tidak jelas kepada siapa diwakafkannya.
4.      Penggunaannya harus sesuai dengan kehendak yang berwakaf. Tidak sah wakaf itu dipergunakan untuk hal yang tidak sesuai dengan kehendak yang berwakaf. Misalnya jika kehendak yang berwakaf itu untuk mesjid, maka tidak sah dipergunakan untuk jalan kuburan dan sebagainya.

2.5         Rukun Wakaf :
1.      Ada yang berwakaf. Syaratnya :
a.       Berhak berbuat kabaikan, sekalipun ia bukan islam
b.      Kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa
2.      Ada barang yang diwakafkan. Syaratnya :
a.       Kekal zatnya. Berarti bila manfaatnya diambil, zat barang itu tidak rusak
b.      Kapunyaan yang mewakafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain)
c.       Ada tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf tersebut). Kalau berwakaf kepada orang tertentu, orang yang berhak menerima hasil wakaf tersebut hendaknya orang yang berhak memiliki sesuatu. Maka tidak sah berwakaf kepada anak yang mesih dalam kandungan ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya.
Wakaf kepada umum. Berwakaf kepada umum di jalan kebaikan adalah sah, bahkan inilah yang lebih penting, misalnya kepada fakir miskin, mesjid, sekolah, membuat jalan, jembatan dan kemaslahatan umum lainnya.
d.      Lafaz, seperti, “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin”, atau “saya wakafakan ini untuk memebuat jembatan”. Kalau mewakafkan kepada sesuatu yang tertentu hendaklah ada Kabul (jawab), tetapi wakaf umum tidak diisyaratkan Kabul.

2.6         Syarat barang yang diwakafkan :
1.      Kekal zatnya, maksudnya tidak cepat rusak, buryk/habis, dapat dimanfaatkan terus menurus
2.      Milik sendiri, maksudnya barang itu bukan barang pinjaman atau masih dalam sengketa
3.      Dapat dimanfaatkan untuk kebaikan
4.      Barang wakaf tidak boleh dijual kecuali barang itu tidak dapat dimanfaatkan pada tempat wakaf tempat itu. Hasil penjualan harus dimanfaatkan untuk kepentingan tempat wakaf itu.

2.7         Menjual Wakaf
Sebagaiman telah diterangkan di atas, wakaf itu hanya untuk diambil manfaatnya, barang asalnya tetap, tidak boleh dijual, diwariskan atau diberikan atau dihibahkan. Sekarang kalau kiranya wakaf itu tudak ada manfaatya atau kurang manfaatnya kecuali dengan dijual, bolehkah dijual??? Menurut pendapat yang sah, tidak berhalangan menjual tikar masjid yang sudah tidak pantas dipakai lagi, agar jangan tersia-sia, dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan masjid.
Dalam mazhab Ahmad bin Hanbal, apabila manfaat wakaf tidak dapat dipergunakan,wakaf itu boleh dijual, dan uangnya dibelikan pada gantinya. Begitu juga mengganti mesjid atau mengubahnya. Juga memindahkan mesjid dari satu kampong ke kampung yang lain, atau dijual, uangnya untuk mendirikan mesjid di kampong yang lain kalau kampong yang lama tidak berkehendak lagi pada mesjid, karena sudah roboh umpamanya, hal demikian kalau dipandang sebagai kemaslahatan. Beliau mengambil alasan dengan perbuatan Umar bin Khattab yang telah mengganti mejid Kufah yang lam dengan yang baru, juga tempatnya beliau pindahkan sehingga tempat mesjid yang lama menjadi pasar.
Kata ibnu Taimiyah, “sesungguhnya yang menjadi pokok di sini guna menjaga kemaslahatan. Allah menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan. Allah telah mengutus utusan-Nya guna menyempurnakan kemaslahatan dan melenyapkan segala kerusakan”.

2.8    Manfaat Wakaf
Manfaat wakaf bagi yang menerima wakaf atau masyarakat sangat banyak, antara lain :
1.      Dapat menghilangkan kebodohan
2.      Dapat mengurangi kemiskinan
3.      Dapat mengurangi kesenjangan sosial
4.      Dapat memajukan serta mensejahterakan umat
5.      Dapat meningkatkan syiar islam
2.9       Hikmah wakaf
Memberikan kemudahan bagi masyarakat umum untuk mendapatkan keperluannya, seperti mesjid, jalan, pesantren dan lain sebagainya. Dengan adanya wakaf tersebut masyarakat dapat mengambil manfaat banyak.




BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
1.        Wakaf menahan dzat/benda dan membiarkan nilai manfaatnya demi mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
2.        Merupakan ibadah kebendaan yang secara tekstualitas tidak ditemukan ayat nya di dalam al-Quran, kecuali ada beberapa hadist Nabi yang  secara eksplisit memberikan kepastian tentang hukum wakaf.
3.        Wakaf adalah amalan yang disunnahkan, termasuk jenis sedekah yang paling utama yang dianjurkan Allah dan termasuk bentuk taqarrub yang termulia, serta merupakan bentuk kebaikan dan ihsan yang terluas serta banyak manfaatnya.
4.        Wakaf merupakan amal yang tidak pernah terputus, meski orang yang memberikan wakaf sudah meninggal dunia.
5.        Wakaf ditentukan peruntukannya, seperti untuk sarana peribatan seperti;  masjid, langgar, mushala, yayasan pendidikan, yayasan panti jompo dan untuk sarana peribadatan sosial lainnya.
6.        Pensyariatan wakaf adalah hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, “Umar memperoleh tanah Khaibar, Kemudian mendatangi Nabi SAW Seraya berkata, Saya memperoleh tanah yang tidak pernah saya dapatkan harta yang lebih berharga darinya, Lalu apa yang engkau perintahakan kepada saya? Nabi SAW bersabda, Jika berkenan, kamu dapat menahan (menafkahkan) pokoknya dan bersedekah dengannya. Kemudian Umar bersedekah agar tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan, tapi hanya untuk fakir miskin, kerabat, budak-budak, orang yang dijalan Allah, para tamu dan ibnu sabil. Sehingga orang yang mengurusnya tidak berdosa mengambil makan darinya dengan cara yang baik atau memberikan makan kepada semua yang tidak mempunyai harta.

3.2         Saran
Penulis menyadari, selesainya makalah ini belum mencapai kelengkapan, juga masih terlalu jauh dari kata sempurna, dan masih terdapat banyak kekurangan dalam pembahasannya. Hal itu semata bukan disengaja, namun lebih kepada tahapan penyediaan makalah yang disajikan, kekurangan yang ada diharapkan dapat ditutupi. Saran dan kritik, terutama dari dosen mata kuliah bersangkutan, sangat kami harapkan, guna perbaikan kedepannya.

Akhir kata Wallaahul Muafiq Ilaa Aqwami Athariq, Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb …



DAFTAR PUSTAKA

Rasjid,Sulaiman. Fiqh Islam.2011. Penerbit Sinar Baru Algensido: Bandung

SYIRKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Syirkah dalam Perspektif Hukum Islam

A.    Defenisi dan Dasar Hukum Usaha Bersama (Syirkah) dalam Islam
Syirkah dari segi bahasa adalah ( al ikhtilath) yaitu penggabungan dua harta atau lebih menjadi satu bagian utuh. Sedang menurut Istilah syari’, makna syirkah  adalah hak kepemilikan suatu hal (yaitu kerjasama dalam usaha atau sekedar kepemilikan suatu benda) oleh dua orang atau lebih sesuai prosentase tertentu.
Hukum melakukan syirkah adalah mubah, dengan dalil dari Alquran dan As sunnah serta Ijma’
Dasar dari Alqur’an adalah Firman Allah Ta’ala : {فهم شركاء في الثلث} [النساء:12/4] “maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”. Dalam ayat tersebut Allah taala menerangkan bahwa saudara seibu jika lebih dari satu maka mereka bersekutu dalam kepemilikan sepertiga harta warisan (pen-dengan syarat syarat yang telah ditentukan).
Adapaun dasar dari Sunnah Dalam syirkah ada  keberkahan dari Allah Ta’ala dalam bentuk perlindungan dan kemudahan dalam menjalankan usaha selama tidak terjadi penghianatan.
ففي الحديث القدسي فيما يروى عن أبي هريرة رفعه إلى النبي صلّى الله عليه وسلم قال: إن الله عز وجل يقول: «أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه، فإذا خانه خرجت من بينهما» رواه أبو داود
Dalam hadit qudsi , sebagaimana yang diriwayatkan oleh abu huroiroh dari Rasulullah Shalallhu alaihi wasalam bersabda: sesungguhnya Allah azza wajala berkata : "Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada peseronya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi)”.
Syirkah bisa dilakukan sesama muslim, dan juga bersama orang kafir.
عن عبد الله بن عمر أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- عامل أهل خيبر بشطر ما خرج منها من زرع   رواه مسلم و أبو داود.أو ثمر
"Rasulullah telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orangYahudi) dengan mendapat bagian dari hasil panen tanaman dan buah.".
Dalil ketiga adalah ijma’ yakni ulama’ kaum muslimin telah bersepakat tentang diperbolehkannya syrirkah (perseroan), namun mereka berikhtilaf dalam beberapa macam jenis syirkah.

B.     Rukun dan Syarat Syirkah
RUKUN Syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1.      Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2.      Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3.      Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl).
Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Dan menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
SYARAT Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah.Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah itu batal.
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1.      Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2.      Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).
C.    Macam-Macam Syirkah
Syirkah al-amlak (perserikatan dalam pemilikan)
Syirkah al-‘uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad)
1.      SYIRKAH AL-AMLAK
Menurut Sayyid Sabiq, syirkah al-amlak adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa didahului aqad, baik bersifat ikhtiari atau jabari. Syirkah al-amlak terbagi dua :
a.       Ikhtiari (perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima harta hibah secara berserikat. Maka barang atau harta tersebut menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
b.      Jabari (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), seperti harta warisan, menjadi milik bersama orang-orang yang berhak menerima warisan.
Status harta dalam syirkah al-amlak adalah sesuai hak masing-masing, bersifat mandiri secara hukum. Jika masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak dibahas secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
2.      SYIRKAH AL-‘UQUD
Akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Syirkah al-‘uqud terbagi lima:
a.       Syirkah al-‘inan (شركة العنان), yaitu perserikatan dalam modal (harta) antara dua orang atau lebih, yang tidak harus sama jumlahnya. Keuntungan dan kerugian dibagi dua sesuai prosentase yang telah disepakati. Sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan prosentase penyertaan modal/saham masing-masing. Para ulama sepakat, hukumnya boleh.
b.      Syirkah Abdan/A’mal, perserikatan yang dilakukan oleh dua pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti kerjasama seprofesi antara dua orang arsitek atau tukang kayu dan pandai besi untuk menggarap sebuah proyek. Hasil atau imbalan yang diterima dibagi bersama sesuai kesepakatan. Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya boleh. Ulama Malikiyah mengajukan syarat, yaitu bahwa kerja yang dilakukan harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing. Menurut ulama Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah, perserikatan seperti ini hukumnya tidak sah, karena yang menjadi obyek perserikatan adalah harta/modal, bukan kerja, disamping pula, kerja seperti ini tidak dapat diukur, sehingga dapat menimbulkan penipuan yang membawa kepada perselisihan.
c.       Syirkah al-Mudharabah, persetujuan antara pemilik modal dengan pengelola untuk mengelola uang dalam bentuk usaha tertentu, keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian menjadi tanggungan pemilik modal saja.
d.      Syirkah Wujuh, serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungannya dibagi bersama. Mirip seperti kerja makelar barang, bukan makelar kasus (markus). Ulama Hanafiah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak lain itupun terikat pada transaksi yang dilakukan mitra serikatnya. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah menyatakan tidak sah dan tidak dibolehkan, karena modal dan kerja dalam perserikatan ini tidak jelas.
e.       Syirkah Mufawadhah, perserikatan dua orang atau lebih pada suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama pula.
        Jika mendapat keuntungan dibagi rata, dan jika berbeda tidak sah. Masing-masing pihak hanya boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari pihak lain (sebagai wakilnya), jika tidak, maka transaksi itu tidak sah. Ulama Hanafiah dan Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti ini dibolehkan. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan itu, disamping tidak ada satu dalilpun yang shahih yang bisa dijadikan dasar hukum. Tetapi mereka membolehkan Mufawadhah seperti pandangan Malikiyah, yaitu boleh mufawadhah jika masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya.
D.   MENGAKHIRI SYIRKAH
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal:
1.     Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya
2.     Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf, baik karena gila maupun alasan yang lainnya
3.     Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meniggal saja
4.     Salah satu pihak jatuh  bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah
5.     Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
E.    Hikmah Syirkah
 Syirkah mengandung hikmah yang sangat besar, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat luas, diantaranya sebagai berikut :
1.      Terkumpulnya modal dengan jumlah yang sangat besar, sehingga dapat    digunakan untuk mengadakan pekerjaan-pekerjaan besar pula.
2.      Dapat memperlancar laju perkembangan ekonomi makro.
3.      Terciptanya lapangan pekerjaan yang lebih luas dan mandiri.
4.      Terjalinnya rasa persaudaraan di antara sesama pemegang modal dan mitra kerja yang lain.
5.      Pemikiran untuk memajukan perusahaan menjadi lebih banyak karena berasal dari banyak orang.

                                   

















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Manusia tidak dapat hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran Islam mengajarkan agar kita menjalin kerjasama dengan siapapun terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong-menolong dan saling menguntungkan (mutualisme), tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa kerjasama maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Syirkah pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja sama sesuai prinsip di atas.
Hukum syirkah sendiri adalah boleh (mubah/halal) sebagaimana kebolehan kita makan, minum dan lain-lain sejauh tidak ada hal yang melarangnya (mengharamkannya di dalam Qur’an maupun Sunnah).












DAFTAR PUSTAKA

Al-qur’an surat An nisa’
Anonim, Belajar Efektif Fiqih Kelas X Madrasah Aliyah, Intimedia
Anonim, LKS Fiqih untuk Madrasah Aliyah