MAKALAH MODEL-MODEL EVALUASI
KURIKULUM
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurikulum ibarat jantung dalam
pendidikan. Tanpa kurikulum maka pendidikan akan mancet dan tidak ada aktivitas
belajar mengajar. Karena di dalam kurikulum berkaitan dengan penentuan arah,
isi dan proses pendidikan, yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi
lulusan suatu lembaga pendidikan. Kurikulum juga menyangkut rencana dan
pelaksanaan pendidikan dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun
nasional. Demikianlah urgensi dari kurikulum.
Kurikulum merupakan hasil pemikiran
manusia. Maka sudah sewajarnya bila dalam pelaksanaanya belum tentu membuahkan
hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itulah evaluasi akan kurikulum itu
menjadi penting dan harus dilakukan. Selain bertujuan memperbaiki
kekurangannya, evaluasi ini kedepannya diharapkan mampu membawa kea rah
pengembangan kurikulum yang lebih baik lagi.
Namun demikian, evaluasi kurikulum
bukanlah suatu kegiatan yang mudah. Seorang evaluator hendaknya memiliki
pemahaman akan teori-teori kurikulum dan metode atau model-model evaluasi
kurikulum. Apalagi kurikulum satuan pendidikan, yang pelaksanaannya sangat
dipengaruhi oleh kondisi masing-masing sekolah. Tentunya hal ini membutuhkan
ketelitian dan penguasaan model evaluasi kurikulum yang matang dari evaluator.
Dan atas dasar pertimbangan-pertimbangan inilah maka penting kiranya untuk
dibahas model-model evaluasi kurikulum yang berkembang saat ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah pengertian evaluasi
kurikulum?
2. Apa sajakah model-model
evaluasi kurikulum?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian
kurikulum.
2. Untuk mengetahui model-model
evaluasi kurikulum.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Evaluasi Kurikulum
Kurikulum yang memiliki nilai
penting sebagaimana diungkap dalam bab pendahuluan menjadikan keberadaan
evaluasi kurikulum menjadi hal yang fardhu adanya. Adapun pengertian evaluasi
adalah pengambilan keputusan berdasarkan hasil pengukuran dan standar criteria.[1]
Evaluasi juga diartikan sebagai kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu.[2]
Sedangkan menurut Marrison evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat
criteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan.[3].
Evaluasi kurikulum dalam tingkatan
informal berbentuk perkiraan, dugaan atau pendapat tentang perubahan-peruabahan
yang telah dicapai oleh program sekolah. Evaluasi kurikulum merupakan suatu
tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan
dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum
juga merupakan fenomena memiliki banyak segi.[4]
Inilah beberapa definisi evaluasi kurikulum yang perlu untuk kita ketahui.
B.
Model-Model
Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memperbaiki subsantsi kurikulum, prosedur implementasi kurikulum, metode
intruksional, serta pengaruhnya pada belajar dan perilaku siswa. Macam-macam
model evaluasi yang dipergunakan bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang
diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat
komparatif berkaitan erat dengan tingkah laku individu, evaluasi yang menekakan
tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi
kurikulum. Adapun model (pendekatan) antropologis dalam evaluasi ditujukan
untuk mengevaluasi tingkah laku dalam suatu lembaga social. Dengan demikian
sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan
kurikulum.
Model evaluasi kurikulum sebagaimana
perkembangan evaluasi kurikulum di Amerika, Inggris dan Australia adalah
dibedakan menjadi 3 yaitu:[5]
pertama, model yang masuk dalam kategori kuantitatif. Kedua,
model kualitatif dan ketiga model-model ekonomi. Adapun penjabarannya
masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Model Evaluasi Kuantitatif
Adapun ciri yang menonjol dari
evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan
data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga
model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi
kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif
adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan criteria
evaluasi.
Berikutnya model-model kuantitatif
ini sama-sama memiliki focus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai
hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan criteria pokok bagi
model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang
terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut.
a. Model Black Box Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box
karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan
karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah
kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di
bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku
peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik
sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah
melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin
mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan
dimensi hasil belajar.
Adapun prosedur pelaksanaan dari
model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan kurikulum yang
akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan
behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975.
Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral
ini jika berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.
2. Menentukan situasi dimana peserta
didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan
dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian
dengan seksama supaya proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil
belajar yang dirancang kurikulum.
3. Menentukan alat evaluasi yang akan
digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat
berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan sebagainya. Adapun
instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya.
Inilah tiga prosedur dalam evaluasi
model Tyler. Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan
pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses.
Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang
mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum.
Adapun kelebihan dari model Tyler
ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya
hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi
dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.
b. Model Teoritik Taylor dan Maguire
Model evaluasi kurikulum Taylor dan
Maguire ini lebih mendasarkan pada pertimbangan teoritik. Model ini melibatkan
variabel dan langkah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam
melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire
meliputi dua hal, yaitu: pertama, mengumpulkan data objektif yang
dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan,
personalia, metode, konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam
jangka panjang. Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar
pertimbangan evaluator.
Kedua, pengumpulan data yang merupakan
hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan
hasil belajar. Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah
sebagai berikut:
1. Dimulai dari adanya
tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan. Tekanan dan tuntutan
masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari masyarakat ini
dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai kurikulum. Adapun dalam
pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat
Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan. Dari dua
standar ini maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak
dicapai satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi
tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.
2. Evaluator mencari data mengenai
keserasian antara tujuan umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas evaluator
disini mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan, kurikulum dan mata
pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini
evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut
membawa gains atau losses dibandingkan dengan tujuan umum ditahap
pertama.
3. Penafsiran tujuan kurikulum. Pada
tahap ini tugas evaluator adalah memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan
umum pada tahap pertama. Adapun dua criteria yang dikemukan oleh Taylor dan
Maguaire dalam memberi pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan
tugas utama sekolah. kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk
dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah
tujuan behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan yang akan
dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
4. Mengevaluasi pengembangan tujuan
menjadi pengalaman belajar. Tugas evaluator disini adalah menentukan hasil dari
suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar yang telah diperoleh
dapat digunakan dalam kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah
kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat
digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.
Demikianlah tahapan pelaksanaan
model evaluasi Taylor dan Maguaire. Adapun kelebihan dari model ini adalah
memberikan kesempatan pada evaluator untuk menerapkan kajian secara komprenhensip.
Baik nilai maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan model ini.
Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa model ini hanya diterapkan
di tingkat satuan pendidikan. Sehingga keseluruhan proses pengembangan
kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan model ini.
c.
Model
Pendekatan Sistem Alkin
Adapun model Alkin ini sedikit unik
karena selalu memasukkan unsure pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan
evaluasi. Adapun pendekatan yang digunakan disebut Alkin dengan pendekatan
Sistem. Dua hal yang harus diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah
pengukuran dan control variable. Alkin membagi model ini atas tiga komponen.
Yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara (mediating), dan
keluaran (hasil). Alkin juga mengenal sisitem internal yang merupakan interaksi
antar komponen yang langsung berhubungan dengan pendidikan dan system eksternal
yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan.
Model Alkin dikembangkan berdasarkan
empat asumsi. Apabila keempat asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat
digunakan. Adapun keempat asumsi itu yaitu:
1. Variable perantara adalah
satu-satunya variable yang dapat dimanipulasi.
2. System luar tidak langsung
dipengaruhi oleh keluaran system (persekolahan)
3. Para pengambil keputusan sekolah
tidak memiliki control mengenai pengaruh yang diberikan system luar terhadap
sekolah.
4. Factor masukan mempengaruhi
aktifitas factor perantara dan pada gilirannya factor perantara berpegaruh
terhadap factor keluaran.
Adapun kelebihan dari model ini
adalah keterikatannya dengan system. Dengan model pendekatan system ini
kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variable-variable yang
ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen masukan yang
dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan karakteristik
peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian,
kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan proses
disini meliputi factor perantara yang merupakan kelompok variable yang secara
langsung memperngaruhi keluaran. Adapun yang masuk dalam variable perantara ini
diantaranya adalah rasio jumlah guru dengan peserta didik, jumlah peserta didik
dalam kelas, pengaturan administrasi, penyediaan buku bacaan, prosedur
pengajaran dan sebagainya.
Adapun keluaran peserta didik adalah
setiap perubahan yang terjadi pada diri peserta didik sebagai akibat dari
pengalaman belajar yang diperolehnya. Perubahan ini harus diikuti sejak peserta
didik masuk sistem hingga keluar system. Perubahan harus diukur meliputi setiap
aspek perubahan yang mungkin terjadi termasuk didalamnya kemampuan peserta
didik dalam melanjutkan pelajaran ditingkat pendidikan yang lebih tinggi, pada
waktu memasuki lapangan kerja, dalam melakukan pekerjaan bahkan termasuk
aktifitas dalam kehidupna di masyarakat.
Dari uraian diatas kita temukan
kelemahan dari model Alkin adalah keterbatasannya dalam focus kajian yaitu yang
hanya focus pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat
digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah.
d. Model Countenance Stake
Model countenance adalah model
pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan
modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang
dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance
Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi dan
yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.
1. Matrik Deskripsi
Kategori pertama dari matrik
deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum
dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang
dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP
yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan
dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada
kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai
antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit
kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
2. Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori
standar, pertimbangan dan focus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang
diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum
atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya
melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan
matrik deskriptif.
Adapun dua hal lain yang harus
diperhatikan dalam menggunakan model countenance adalah contingency dan
congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan keterkaitan dan
keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri atas kontigency logis dan
contingency empiric. Contingency logis adalah hasil pertimbangan evaluator
terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil.
Kemudian evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiric berdasarkan data
lapangan.
Evaluator juga harus memberikan
pertimbangan congr uence atau perbedaan yang terjadi antara apa yang
direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun kelebihan dari model
ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya.
Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan yang
terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan
harapan.
e.
Model
CIPP
Model ini dikembangkan oleh sebuah
tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP
ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi Context (konteks), Input
(masukan), Process (proses), dan Product (hasil). Adapun tugas evaluator dari
keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
Ø Evaluasi Context
Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta
didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite
sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap
kurikulum.
Ø Evaluasi Input
Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap keberhasilan
pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor
yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenai ini
menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau
pergantian kurikulum.
Ø Process
Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi
kurikulum. Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keterlaksanaan
implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses implementasi.
Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable input terhadap proses.
Ø Product
Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh mana
kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan
kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam informasi
mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan mengambil
keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau dilanjutkan).
Dari uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi yang tidak
hanya dilaksanakan dalam situasi inovasi sedang dilaksanakan, tetapi justru
model ini dilakukan ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.
2. Model Ekonomi Mikro
Model ekonomi mikro adalah model
yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana model kuantitatif lainnya,
maka model ekonomi mikro ini focus pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil
belajar dan hasil yang diperkirakan). Adapun pertanyaan besar dalam ekonomi
mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik adalah sesuai
dengan dana yang dikeluarkan? Adapun model dilingkungan ekonomi mikro ada
empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum adalah model cost
effectiveness.
Dalam model cost effectiveness ini
seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik
dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil
yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil ini akan memberikan
masukan bagi pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan
dilihat dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur hasil di gunakan
instrument yang sudah di standarisasi. Pengunaan instrument standar penting
karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil dapat dilakukan
secara berimbang.
3. Model Evaluasi Kualitatif
Adapun model evaluasi kualitatif
selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai focus utama evaluasi.
Oleh karena itulah dimensi kegiatan dan proses lebih mendapatkan perhatian
dibandingkan dimensi lain. Terdapat tiga model evaluasi kualitatif, yaitu
sebagai berikut:
a. Model Studi Kasus
Adapun model studi kasus (case
study) adalah model utama dalam evaluasi kualitatif. Evaluasi model studi kasus
memusatkan perhatiannya pada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan
pendidikan. Unit tersebut dapat berupa satu sekolah, satu kelas, bahkan
terdapat seorang guru atau kepala sekolah. Adapun datanya juga akan berupa data
kualitatif yang dianggap lebih memberikan makna dibanding data kuantitatif yang
kering. Namun demikian kualitatif tidak menolak secara mutlak data kuantitatif.
Dan dalam menggunakan model evaluasi
studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator adalah familirialisasi
dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Apabila evaluator belum familiar dengan
kurikulum dan satuan pendidikan yang mengembangkannya maka evaluator ini
dilarang melakukan evaluasi. Familirialisasi ada dua jenis. Pertama,
familiriaslisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan sebagai rencana.
Familiarialisasi kedua dilakukan ketika evaluator dilapangan. Evaluator
harus menguasai kebiasaan-kebiasaan dalam satuan pendidikan yang dievaluasi.
Setelah familiarilisasi evaluator
bisa melanjutkan pada observasi lapangan dengan baik. Observasi adalah teknik
pengumpulan data yang sangat dianjurkan dalam model studi kasus. Dengan
observasi memungkinkan evaluator menangkap suasana yang terjadi secara langsung
ketika proses yang diobservasi sedang berlangsung. Adapun ketentuan bagi
evaluator ketika menggunakan observasi adalah pertama, haruslah
evaluator seorang yang memiliki visi dan pengetahuan luas mengenai focus
observasi.
Kedua, kecepatan berfikir, hal ini
penting karena evaluator berfungsi sebagai instrument yang selalu terbuka untuk
refocusing ataupun membuka dimensi baru dari masalah yang sedang diamati. Ketiga,
evaluator harus cermat dalam menangkap informasi yang diterimanya. Kecermatan
ini ditandai oleh tiga hal. Pertama, informasi tertulis sebagaimana yang disampaiakn
oleh responden, pemkanaan informasi, dan keterkaitan informasi dengan konteks
yang lebih luas.
Selain observasi, pengumpulan data
dapat dilakukan dengan kuisioner dan wawancara. Setelah data selesai
dikumpulkan maka pengolahan data langsung dilakukan, sebaiknya ketika masih
dilapangan. Hal ini memudahkan evaluator apabila ada persoalan baru masih
memiliki kesempatan untuk menelusuri secara langsung. Selain itu juga efisiensi
waktu. Dari pengolahan data ini dilakukan dengan tindakan evaluator yaitu
mengklasifikasi data dan segera membuat laporan hasil evaluasi.
b. Model Iluminatif
Model ini mendasarkan dirinya pada
paradigma antropologi social. Model ini juga memberikan perhatian tidak hanya
pada kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Adapun dua dasar konsep
yang digunakan model ini adalah:
1. System intruksi
System intruksional disini diartikan
sebagai catalog, perpekstus, dan laporan-laporan kependidikan yang secara
khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan
dengan pengaturan suatu pengajaran. KTSP sebagai hasil pengembangan standar isi
dan standar kompetensi lulusan di suatu satuan pendidikan adalah suatu system
instruksi.
2. Lingkungan belajar
Lingkungan belajar ialah lingkungan
social-psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik berinteraksi. Dalam
langkah pelaksanaannya, model evaluasi iluminatif memiliki tiga kegiatan.
Yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan yang
penting. Dalam observasi evaluator dapat mengamati langsung apa yang sedang
terjadi disuatu satuan pendidikan. Evaluator dapat melakukan studi dokumen,
wawancara, penyebaran kuesioner, dan melakukan tes untuk mengumpulkan informasi
yang diperlukan. Isu pokok, kecenderungan, serta persoalan yang teridentifikasi
merupakan pedoman bagi evaluator untuk masuk kedalam langkah berikutnya.
b. Inkuiri lanjutan
Dalam tahap inkuiri lanjutan ini
evaluator tidak berpegang teguh terhadap temuannya dalam langkah pertama.
Kegiatan evaluator dalam tahap ini adalah memantapkan isu, kecenderungan, serta
persoalan-persoalan yang ada sampai suatu titik dimana evaluator menarik
kesimpulan bahwa tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
c. Usahan penjelasan
Dalam langkah memberikan penjelasan
ini evaluator harus dapat menemukan prinsip-prinsip umum yang mendasari
kurikulum disatuan pendidikan tersebut. Disamping itu evaluator harus dapat
menemukan pola hubungan sebab akibat untuk menjelasakan mengapa suatu kegiatan
dapat dikatakan berhasil dan mengapa kegiatan lainnya dikatakan gagal.
Penjelasan merupakan hal penting dalam metode iluminatif.
Adapun evaluasi kurikulum sebagai
fenomena sejarah merupakan suatu elemen dalam proses social yang digubungkan
dengan perkembangan pendidikan, meliputi tiga model evaluasi:[6]
1.
Evaluasi
model penelitian
Model evaluasi kurikulum yang
menggunakan model penelitian didasarkan atas teori dan metode tes psikologis
serta eksperimen lapangan. Tes psikologi atau tes psikometrik pada umumnya
memiliki dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang ditujukan untuk mengukur
kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur perilaku skolastik.
Eksperimen lapangan dalam pendidikan menggunakan metode yang biasa digunakan
dalam penelitian botani pertanian. Anak dapat disamakan dengan benih, sedang
kurikulum serta berbagai fasilitas serta system sekolah dapat disamakan dengan
tanah dan pemeliharaannya. Untuk mengetahui tingkat kesuburan benih (anak)
serta hasil yang diacapai pada akhir program percobaan dapat diguanakan tes
(pre test dan post tes).
Comparative approach dalam
eksperimen lapangan adalah dengan mengadakan perbandingan antara dua macam
kelompok anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda.
Missal metode global dan metode unsure. Dari situ diketahui kelompok mana yang
hasilnya baik. Rancangan penelitian ini membutuhkan persiapan yang sangat
teliti dan rinci. Besarnya sampel, variable, hipotesis, tes hasil belajar dan
sebagainya perlu dirumuskan dengan tepat.
Adapun kesulitan dari eksperimen ini
adalah pertama, kesulitan administrative (sedikit sekolah yang bersedia
dijadikan eksperimen). Kedua, masalah teknis yaitu kesulitan menciptakan
kondisi kelas yang sama untuk kelompok yang diuji. Ketiga, sukar mencampurkan
guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok control.
2.
Evaluasi
model Objektif
Evaluasi model objektif berasal dari
Amerika Serikat. Pendekatan ini digunakan oleh Ralph Tylor. Ada beberapa syarat
yang harus di penuhi oleh evaluator model objektif adalah:
a.
Ada
kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum.
b. Merumuskan tujuan-tujuan tersebut
dalam perbuatan siswa
c.
Menyusun
materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut
d. Mengukur kesesuaian antara perilaku
siswa dengan hasil yang diinginkan
Dalam evaluasi model objektif ini
kemajuan siswa dimonitor oleh guru dengan memberikan tes yang mengukur tingkat
penguasaan tujuan-tujuan khusus melalui pre tes dan post tes. Siswa dianggap
menguasai unit bila memperoleh skor minimal 80.
3.
Model
campuran multivariasi
Model evaluasi perbandingan dan
model objektif menghasilkan evaluasi model campuran yaitu strategi yang
menyatukan unsure-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Adapun langkah-langkah
model multivariasi tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Mencari
sekolah yang berminat untuk dievaluasi
b. Pelakasanaan program.
c.
Sementara
tim penyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran, umpanya dengan
metode global dan metode unsure dapat disiapkan tes tambahan.
d. Bila semua informasi yang diharapkan
telah terkumpul maka mulailah pekerjaan computer
e.
Tipe
analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari beberapa
variable yang berbeda.
Adapun kesulitan yang dihadapi dalam
model campuran multivariasi ini adalah: pertama, diharapkan memberikan
tes statistic yang signifikan. Kedua, terlalu banyaknya variable yang
perlu di hitung. Untuk model ini diperlukan variabel sekitar 300. Ketiga,
model multivariasi telah mengurangi masalah control berkenaan dengan eksperimen
lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah perbandingan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema
yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat
merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri.
2. Model-model evaluasi kurikulum
berdasarkan perkembangan evaluasi di Amerika, Inggris dan Australia dibedakan
menjadi:
a. Model Kuantitatif. Meliputi model
Black Box Tyler, Model Teoritik Taylor dan Maguire, Model Pendekatan Sistem
Alkin, Model Countenance Stake, Model CIPP
b. Model Ekonomi
c. Model Kualitatif. Meliputi model
studi kasus dan model iluminatif.
Adapun evaluasi kurikulum sebagai
fenomena sejarah merupakan suatu elemen dalam proses social yang digubungkan
dengan perkembangan pendidikan, meliputi tiga model evaluasi, yaitu:
a. Evaluasi model penelitian
b. Evaluasi model objektif
c. Evaluasi model campuran multivariasi
B.
Saran
Melihat pentingnya evaluasi
kurikulum maka kami menyarankan kepada evaluator untuk memahami benar
teori-teori evaluasi kurikulum serta teori kurikulum yang sedang dijalankan
oleh satuan pendidikan. Sehingga evaluasi kurikulum tersebut bermanfaat
sebagaimana tujuan dari evaluasi kurikulum itu sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Hamalik, Oemar, Pengembangan
Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
Hasan, S. Hamid, Evaluasi
Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Sudijono, Anas, Pengantar
Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar