PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari
“Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive
noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata
tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia
berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Dalam pengertian hukum Islam
wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa
mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok
(organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan
dengan syari’at. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf
sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau
mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.
Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap
tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih
menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke
atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf
adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya
dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad
(shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi
wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang
berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf
dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya
(al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk
diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini
mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya
(al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat
diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf
dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan
manfaat yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fiqih.
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun
2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf berfungsi untuk mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat,
bantuan kepada fakir miskin.
Firman Allah SWT di dalam QS. Al-Hajj : 77
...dan
berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan”
2.2
Dasar Hukum Wakaf
Secara umum
tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh
karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama
dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran
yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Artinya : "Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S
al-Baqarah:267).
Artinya : "Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian
harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya
Allah mengetahuinya." (Q.S ali Imran:92).
Adapun
Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah
Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.
Bahwa sahabat Umar ra.
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah
saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya
mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu,
maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda:
"Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan
(hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak
dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta" (HR. Muslim).
Dalil Ijma' :Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya
permasalahan wakaf adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi;
yang demikian karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn
Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan
wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh
khalayak ramai. (Lihat: Tafsir
Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy
6/160, Al-Muhalla 9/180)
·
Pelaksanaan wakaf di Indonesia
Di
Indonesia pelaksanaan wakaf diatur undang-undang Republik Indonesia No.41 Tahun
2004 tentang wakaf yang disahkan Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004. Dalam praktiknya wakaf di
Indonesia telah ditangani oleh Lembaga Departemen Agama Republik Indonesia.
Tata cara wakaf
di Indonesia adalah sebagai berikut :
a.
Calon wakaf yang akan mewakafkan tanahnya menghadap kepada nazir di
hadapan pejabat pembuat akte ikrar wakaf yang mewilayahi tanah wakaf itu.
b.
Ikrar wakaf disaksikan oleh sedikit-dikitnya dua orang saksi yang
sehat akal dan dilakukan secara tertulis.
c.
Ikrar wakaf ditulis dengan persetujuan kepala kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kotamadya yang mewilayahi tanah wakaf itu dan dibicarakan di hadapan
PPAIW
d.
Tanah wakaf itu dalam keadaan bebas dari ikatan/sengketa.
2.3
Macam-Macam Wakaf
1.
Wakaf untuk perorangan, yaitu memberikan kepada seseorang atau
manfaatnya hanya untuk orang yang diberi saja.
2.
Wakaf untuk umum, yaitu memberikan kepada seseorang atau kelompok
untuk kepentingan umum/orang banyak.
Wakaf inilah
yang dianjurkan oleh agama islam. Misalnya untuk mesjid, sekolah, jalan, panti
dan lain-lain.
Adapun
beberapa macam wakaf yang dijelaskan dibawah ini adalah wakaf yang menjadi
perselisihan antara beberapa ulama tentang sah atau tidaknya :
1.
Putus awalnya, seperti kata seorang, “saya wakafkan ini kepada
anak-anak saya, kemudian kepada fakir miskin”, sedangkan dia tidak mempunyai
anak. Ini tidak sah karena tidak dapat diberikan sekarang.
2.
Putus ditengah, umpamanya seseorang berkata, “saya wakafkan ini
kepada anak-anak saya, kepada seseorang dengan tidak ditentukan, kemudian
kepada orang miskin”. Menurut pendapat yang kuat , wakaf ini sah. Diberikannya
wakaf sesudah tingkatan pertama kepada tingkatan kedua.
3.
Putus akhirnya, umpamanya dia berkata, “saya wakafkan ini kepada
beberapa anak A”, dengan tidak diterangkan kepada siapa. Wakaf semacam ini sah
juga menurut pendapat mu’tamad, sesudah habis anak dari A. sebagian ulama
berpendapat bahwa hasil wakaf diberikan kepada orang yang paling dekat hubungan
kerabatannya dengan orang yang berwakaf, karena sedekah kepada keluarga lebih
utama. Tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat diberikan kepada fakir dan
miskin.
2.4
Beberapa Syarat Syah Wakaf :
1.
Selama-lamanya, berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika
seseorang berkata “saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun”
maka wakaf semacam ini tidak sah karena tidak selamanya.
2.
Tunai dan tidak ada khiyar syarat, sebab wakaf itu maksudnya adalah
memindahkan milik pada waktu itu. Jika disyaratkan khiyar, atau dia berkata
“kalau si A datang, saya wakafkan ini kepada murid-murid” maka wakaf semacam
ini tidak sah karena tidak tunai. Kecuali kalau dihubungkan dengan mati,
umpamanya di berkata “saya wakafkan sawah saya sesusah saya mati kepada ulam
Garut” maka lafadz ini sah menjadi wasiat bukan wakaf.
3.
Hendaklah jelas kepada siapa diwakafkan. Kalau dia berkata, “saya
wakafkan rumah ini”, wakaf itu tidak sah karena tidak jelas kepada siapa diwakafkannya.
4.
Penggunaannya harus sesuai dengan kehendak yang berwakaf. Tidak sah
wakaf itu dipergunakan untuk hal yang tidak sesuai dengan kehendak yang
berwakaf. Misalnya jika kehendak yang berwakaf itu untuk mesjid, maka tidak sah
dipergunakan untuk jalan kuburan dan sebagainya.
2.5
Rukun Wakaf :
1.
Ada yang berwakaf. Syaratnya :
a.
Berhak berbuat kabaikan, sekalipun ia bukan islam
b.
Kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa
2.
Ada barang yang diwakafkan. Syaratnya :
a.
Kekal zatnya. Berarti bila manfaatnya diambil, zat barang itu tidak
rusak
b.
Kapunyaan yang mewakafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak
dapat dipisahkan dari yang lain)
c.
Ada tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf tersebut).
Kalau berwakaf kepada orang tertentu, orang yang berhak menerima hasil wakaf
tersebut hendaknya orang yang berhak memiliki sesuatu. Maka tidak sah berwakaf
kepada anak yang mesih dalam kandungan ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya.
Wakaf
kepada umum. Berwakaf kepada umum di jalan kebaikan adalah sah, bahkan inilah
yang lebih penting, misalnya kepada fakir miskin, mesjid, sekolah, membuat
jalan, jembatan dan kemaslahatan umum lainnya.
d.
Lafaz, seperti, “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin”, atau
“saya wakafakan ini untuk memebuat jembatan”. Kalau mewakafkan kepada sesuatu
yang tertentu hendaklah ada Kabul (jawab), tetapi wakaf umum tidak diisyaratkan
Kabul.
2.6
Syarat barang yang diwakafkan :
1.
Kekal zatnya, maksudnya tidak cepat rusak, buryk/habis, dapat
dimanfaatkan terus menurus
2.
Milik sendiri, maksudnya barang itu bukan barang pinjaman atau
masih dalam sengketa
3.
Dapat dimanfaatkan untuk kebaikan
4.
Barang wakaf tidak boleh dijual kecuali barang itu tidak dapat
dimanfaatkan pada tempat wakaf tempat itu. Hasil penjualan harus dimanfaatkan
untuk kepentingan tempat wakaf itu.
2.7
Menjual Wakaf
Sebagaiman
telah diterangkan di atas, wakaf itu hanya untuk diambil manfaatnya, barang
asalnya tetap, tidak boleh dijual, diwariskan atau diberikan atau dihibahkan.
Sekarang kalau kiranya wakaf itu tudak ada manfaatya atau kurang manfaatnya
kecuali dengan dijual, bolehkah dijual??? Menurut pendapat yang sah, tidak
berhalangan menjual tikar masjid yang sudah tidak pantas dipakai lagi, agar
jangan tersia-sia, dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan masjid.
Dalam
mazhab Ahmad bin Hanbal, apabila manfaat wakaf tidak dapat dipergunakan,wakaf
itu boleh dijual, dan uangnya dibelikan pada gantinya. Begitu juga mengganti
mesjid atau mengubahnya. Juga memindahkan mesjid dari satu kampong ke kampung
yang lain, atau dijual, uangnya untuk mendirikan mesjid di kampong yang lain
kalau kampong yang lama tidak berkehendak lagi pada mesjid, karena sudah roboh
umpamanya, hal demikian kalau dipandang sebagai kemaslahatan. Beliau mengambil
alasan dengan perbuatan Umar bin Khattab yang telah mengganti mejid Kufah yang
lam dengan yang baru, juga tempatnya beliau pindahkan sehingga tempat mesjid
yang lama menjadi pasar.
Kata
ibnu Taimiyah, “sesungguhnya yang menjadi pokok di sini guna menjaga
kemaslahatan. Allah menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan menjauhkan
kerusakan. Allah telah mengutus utusan-Nya guna menyempurnakan kemaslahatan dan
melenyapkan segala kerusakan”.
2.8 Manfaat Wakaf
Manfaat
wakaf bagi yang menerima wakaf atau masyarakat sangat banyak, antara lain :
1.
Dapat menghilangkan kebodohan
2.
Dapat mengurangi kemiskinan
3.
Dapat mengurangi kesenjangan sosial
4.
Dapat memajukan serta mensejahterakan umat
5.
Dapat meningkatkan syiar islam
2.9 Hikmah wakaf
Memberikan
kemudahan bagi masyarakat umum untuk mendapatkan keperluannya, seperti mesjid,
jalan, pesantren dan lain sebagainya. Dengan adanya wakaf tersebut masyarakat
dapat mengambil manfaat banyak.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1.
Wakaf menahan dzat/benda dan membiarkan nilai
manfaatnya demi mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
2.
Merupakan ibadah kebendaan yang
secara tekstualitas tidak ditemukan ayat nya di dalam al-Quran, kecuali ada beberapa hadist
Nabi yang secara eksplisit memberikan kepastian tentang hukum wakaf.
3.
Wakaf adalah amalan yang
disunnahkan, termasuk jenis sedekah yang paling utama yang dianjurkan Allah dan
termasuk bentuk taqarrub yang termulia, serta merupakan bentuk kebaikan dan
ihsan yang terluas serta banyak manfaatnya.
4.
Wakaf merupakan amal yang tidak
pernah terputus, meski orang yang memberikan wakaf sudah meninggal dunia.
5.
Wakaf ditentukan peruntukannya,
seperti untuk sarana peribatan seperti; masjid, langgar, mushala, yayasan
pendidikan, yayasan panti jompo dan untuk sarana peribadatan sosial lainnya.
6.
Pensyariatan wakaf adalah hadits
Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, “Umar memperoleh tanah Khaibar, Kemudian
mendatangi Nabi SAW Seraya berkata, Saya memperoleh tanah yang tidak pernah
saya dapatkan harta yang lebih berharga darinya, Lalu apa yang engkau
perintahakan kepada saya? Nabi SAW bersabda, Jika berkenan, kamu dapat menahan
(menafkahkan) pokoknya dan bersedekah dengannya. Kemudian Umar bersedekah agar
tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan, tapi hanya
untuk fakir miskin, kerabat, budak-budak, orang yang dijalan Allah, para tamu
dan ibnu sabil. Sehingga orang yang mengurusnya tidak berdosa mengambil makan
darinya dengan cara yang baik atau memberikan makan kepada semua yang tidak
mempunyai harta.
3.2
Saran
Penulis
menyadari, selesainya makalah ini belum mencapai kelengkapan, juga masih
terlalu jauh dari kata sempurna, dan masih terdapat banyak kekurangan dalam
pembahasannya. Hal itu semata bukan disengaja, namun lebih kepada tahapan
penyediaan makalah yang disajikan, kekurangan yang ada diharapkan dapat
ditutupi. Saran dan kritik, terutama dari dosen mata kuliah bersangkutan,
sangat kami harapkan, guna perbaikan kedepannya.
Akhir
kata Wallaahul Muafiq Ilaa Aqwami Athariq, Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb
…
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid,Sulaiman. Fiqh Islam.2011. Penerbit Sinar Baru Algensido:
Bandung